Kisah Manusia Rakit, Tetap Bertahan Meski Bahaya Selalu Mengancam
Selain itu, untuk urusan perbaikan rakit sendiri diakuinya juga kerap menimbulkan persoalan karena hampir pasti setiap satu tahun sekali dia harus menyewa tukang khusus untuk memperbaiki rakitnya.
“Kalau diperbaiki atau ganti bambu yang ada di bawah rakit hampir setahun sekali, belinya di bawah Jembatan Kertapati tapi sekarang ini nyari bambunya agak susah,” ungkap Apriyadi, putra sulung Suli yang ikut menimpali.
Rumah rakit ini sendiri aku Suli juga menumpang di atas tanah warga yang disewanya sebesar Rp400 ribu per tahun yang terkadang dia bayar secara mencicil selama dua kali.
Ditanya soal keberadaan WC apung yang hingga kini tetap dia pergunakannya bersama seluruh anggota keluarganya, Suli mengaku lantaran dia tak punya pilihan lain untuk membangun WC permanen di daratan.
“Kalau ada bantuan untuk WC yang layak kami mau juga. Karena memang dari segi kesehatan WC terapung ini tidak sehat juga, kami akui itu. Tapi mau gimana lagi hanya ini yang kami mampu buat. Kalaupun ada bantuan pemerintah untuk membuat WC yang lebih layak kami mau,” pungkasnya.
Saat ini, keberadaan rumah sakit tidaklah sebanyak sebelumnya. Hal ini lantaran banyak diantara pemilik rumah rakit yang memilih untuk tinggal di daratan.
Terbanyak terdapat di wilayah Seberang Ulu mulai dari 1 Ulu hingga 7 Ulu. Sementara, di Seberang Ilir keberadaan rumah rakit saat ini tinggal hitungan jari. (*/sam/jpnn)