Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Serahkan Rekomendasi Kepada Prabowo-Gibran
Kedua program ini harus mempertimbangkan aspek keadilan sosial, daya dukung lingkungan, serta daya saing industri dalam negeri.
Nadia Hadad, Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan, menjelaskan program B50 harus dievaluasi kembali karena studi Madani menunjukan bahwa daya dukung dan daya tampung lingkungan sudah berada di ambang batas kritis.
Artinya, pembukaan lahan baru untuk perkebunan sawit yang menjadi bahan baku biodiesel harus dihentikan.
Anggi Prayoga, Juru Kampanye Forest Watch, menambahkan, praktik co-firing justru akan memperpanjang usia PLTU dan mendorong perluasan pembukaan hutan untuk memenuhi target produksi biomassa kayu melalui Hutan Tanaman Energi (HTE).
Akibatnya, Indonesia justru akan menanggung utang emisi. Menurutnya, transisi energi seharusnya dilakukan tanpa merusak hutan.
Kebijakan lain yang perlu dievaluasi yakni terkait nilai ekonomi karbon (NEK). Presiden baru perlu memastikan kebijakan NEK ini memiliki kerangka pengaman yang kuat dan mampu mendukung pencapaian target netral karbon serta mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam penerapannya. Hal ini perlu dilakukan agar dekarbonisasi sektor industri dapat segera tercapai dan alokasi dana karbon dapat terdistribusi pada sektor-sektor hijau untuk mewujudkan ekonomi hijau.
“Perlu lakukan pemetaan untuk perkuat aturan dan pengawasan implementasi jaring pengaman instrumen NEK, termasuk yang bersifat wajib seperti Amdal dan instrumen perizinan sehingga mampu menghindari risiko sosial maupun lingkungan dari implementasi NEK oleh korporasi serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan NEK,” ujar Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law Raynaldo G. Sembiring.
Implementasi transisi energi berkeadilan ini dapat dicapai melalui partisipasi masyarakat.