Koalisi Merah Putih Diprediksi Hanya Sisa Gerindra dan PKS
"Daripada menjadi oposisi untuk kadernya, tentu lebih ideal memberikan dukungan. Terlebih di pemerintahan nanti ada JK, yang juga kader inti Golkar," jelasnya.
Jika Golkar sudah ada dalam kubu Jokowi-JK, maka komposisi di Parlemen Senayan tidak perlu diragukan lagi jika menghadapi pengambilan keputusan yang didasarkan voting.
Sedangkan Demokrat, kata Eko, mungkin lebih memilih jalan moderat. Dengan dalih mendukung kebijakan yang pro rakyat bisa saja dalam bentuk koalisi semu yang tidak dilembagakan.
"Ini jalan penting bagi Demokrat, untuk kembali menarik simpati rakyat. Bahkan dalam posisi netral dan berpihak kepada rakyat, partai berlian biru ini bisa semakin mengkokohkan posisi SBY sebagai orang kuat dalam peta politik Indonesia," ujarnya.
Tentang PAN dan PPP, kata Eko, lambat laun juga akan mendukung program-program pro rakyat yang dilontarkan Jokowi-JK. Dua partai ini bisa saja masih dalam tubuh koalisi Prabowo-Hatta tetapi akan mengusung jargon pro rakyat dan menafikan harus selalu menentang program Jokowi-JK.
"Tidak bisa disangkal, di tubuh PPP ada faksi Suharso Monoarfa yang condong Jokowi. Di PAN, masih ada akar Soetrisno Bachir dan faksi-faksi yang dukung Jokowi. Namun, jika kita mencermati politik paternalistik, maka oposisi sulit untuk berkembang, karena ada kecenderungan bahwa rakyat dan parpol akan berupaya untuk mendekat kepada pemilik kekuasaan. Dengan kata lain, apa yang dikatakan Jokowi koalisi dengan rakyat, akan mungkin dipakai kedua partai ini," tuturnya.
Lebih dari itu, lanjut Eko, dalam pendekatan komunikasi politik yang berpijak kepada teori spiral keheningan, maka publik, rakyat hakekatnya merasa lebih nyaman ada dalam suara mayoritas.
"Pada konteks ini, tentu suara pemegang kekuasaan. Tentunya untuk idealnya dinamika politik, memang harus ada oposisi yang santun dan beradab demi menjaga demokrasi bernegara," bebernya. (dil)