Konsep Kebhinekaan Diharapkan tak Hanya jadi Sebuah Jargon
jpnn.com, JAKARTA - Konsep Kebhinekaan diharapkan tidak hanya menjadi sebuah jargon, tapi harus masuk pada tataran praktis dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Hal ini disampaikan cendekiawan muslim Prof Dr. Komaruddin Hidayat pada acara Dialog Nasional Aplikasi Kehidupan Berbhineka 'Kita Adalah Satu Kita Indonesia Kita Pancasila', yang digelar oleh Canisius College Alumni Day 2018 di Hotel Pullman Thamrin, Jakarta, Selasa (8/5).
Konsep Kebhinekaan secara wacana di Indonesia sudah diterima dengan baik, tapi harus terus dikembangkan menjadi perilaku.
“Muara Pancasila adalah keadilan, muara agama pun keadilan, dan adil adalah kesempurnaan takwa,” katanya.
Senada dengan Komaruddin, Romo. Prof. Dr. BS Mardiatmadja mengatakan bahwa masyarakat Indonesia mempunyai energi positif untuk bersatu. Romo Mardi bercerita ia sering keliling Indonesia.
Di situ dirinya sering menemukan masyarakat yang berbeda-beda. Mulai di Sumatera, Nusa Tenggara Timur, Manado, dan masih banyak lagi.
"Perbedaan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lainnya begitu tampak,” katanya.
Namun ketika Romo Mardi sedang berada di luar negeri dan bertemu dengan orang-orang Indonesia di sana, dia menemukan kesimpulan yang luar biasa.
“Walaupun orang Indonesia di luar negeri itu berbeda suku, setiap mereka bertemu pasti akan berbahasa Indonesia. Di sinilah energi itu tampak, energi untuk saling bersatu begitu kuat,” ceritanya.
Sementara, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Prof Dr. Jimly Asshiddiqie SH juga menegaskan, bahwa Indonesia bisa eksis hingga saat ini karena masyarakat sepakat untuk memegang teguh Pancasila. Untuk itu, katanya, kebhinekaan harus terus dirawat sampai kapanpun.
Dia juga menyinggung saat ini ada pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab mencoba melemparkan narasi-narasi negatif tentang Kebhinekaan. “Untuk itu kita jangan baper (bawa perasaan), kita harus berikan juga narasi-narasi positif dan optimistis,” kata jimly.
Jimly juga menyentil para partisan politik yang menggunakan rumah ibadah untuk kampanye praktis. Padahal, menurut Jimly, ada tiga tempat yang tidak boleh digunakan untuk kampanye politik praktis,
“Rumah ibadah, fasilitas pemerintah, serta sarana pendidikan,” terangnya.(chi/jpnn)