Korupsi di Daerah Sistemik dan Masif
jpnn.com - Banyak kalangan, termasuk sejumlah aktivis antikorupsi meragukan efektivitas Rencana Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) membuka kantor cabang di daerah. Mereka khawatir, belum kuatnya kontrol masyarakat daerah terhadap lembaga antirasuah tersebut akan membuat pesonil KPK rentan kehilangan independensi dan integitasnya.
Keraguan terhadap rencana itu juga sempat meluncur dari Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). JK meminta, lembaga yang dipimpin Abraham Samad tersebut agar mengkaji dahulu lebih dalam rencana tersebut. Menurut JK, pembukaan kantor baru tanpa disiapkan pengawasan yang ketat serta didukung personil yang bagus, KPK rentan menjadi tempat mafia hukum. Dan faktanya, saat ini, KPK pusat sering mengeluhkan kekurangan sumber daya manusia (SDM).
Seperti diketahui, KPK berencana membuka tiga kantor di daerah. Yakni, Indonesia bagian barat di Medan, Sumatra Utara. Indonesia bagian tengah di Balikpapan, Kalimantan Timur. Dan, Indonesia bagian timur di Makasar, Sulawesi Selatan.
Bekas Wakil Ketua KPK, Busyro Muqqodas mengatakan, pembentukan KPK di daerah sudah mendesak. Menurutnya, gagasan tersebut telah melalui riset yang dilakukan KPK bersama Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Kepada Rakyat Merdeka (Jawa Pos Group), Busyro menerangkan gagasan tersebut.
Bisa diceritakan, apa latar belakang KPK ingin membuka kantor di KPK di daerah?
Banyak masyarakat di daerah menyampaikan aspirasi dan harapan kepada KPK, mereka meminta agar KPK membuka kantor di daerah. Korupsi di daerah saat ini itu semakin sistemik dan masif. Oleh sebab itu, KPK memandang perlu dilakukan penyelamatan terhadap keuangan APBD (anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) sekaligus mencegah rakyat menjadi korban tindak pidana korupsi.
Apa dasar Anda bisa mengatakan korupsi di daerah semakin sistemik dan masif ?
KPK sudah melakukan riset bersama BPKP. Hasilnya, banyak ditemukan data mengenai indikasi terjadi kebocoran anggaran. (Sekadar informasi, data BPK menyebutkan berdasarkan hasil pemeriksaan sementara selama periode 2003-2013, pengelolaan anggaran yang mengandung unsur pidana ditemukan 432 kasus dengan nilai Rp 42,71 trilliun).