Kota Terbesar Keempat Masih Sekelas Makassar
Jumat, 22 Agustus 2008 – 07:32 WIB
Karena itu saya sudah agak lama ingin ke India. Tentu, ketika akhirnya saya berangkat ke sana, pekan lalu, pikiran saya sudah penuh dengan cerita sukses dan angka-angka mengagumkan yang belakangan ini sering menghiasi media internasional. Khususnya cerita tentang pertumbuhan ekonominya yang fantastis beberapa tahun terakhir. Yang selalu bisa tumbuh mencapai 9 persen per tahun. Juga cerita mengenai pembangunan infrastrukturnya yang dilakukan secara besar-besaran. Termasuk cerita mengenai sukses India sebagai pusat outsourcing dunia.
Bayangan seperti itu muncul terutama karena saya belum pernah ke India. Saya tidak punya bayangan bagaimana lima atau 10 tahun yang lalu. Kecuali gambaran bahwa India sangat miskin, kotor, dan banyak sekali pengemis. Tapi seberapa miskin sebenarnya saya tidak bisa membayangkan dengan baik. Kecuali bahwa sudah pasti lebih miskin dari Indonesia yang miskin itu.
Tapi setelah lima tahun terakhir saya selalu mendengar dan membaca bahwa India mengalami kemajuan yang luar biasa, saya sangat tergoda untuk menyaksikannya. Seperti Tiongkokkah? Bagaimana bisa? Bukankah Tiongkok maju di samping karena tidak punya Tuhan juga karena tidak ada demokrasi? Sedang India menganut demokrasi murni dengan Tuhan lebih dari seribu? Bagaimana negara berkembang yang demokratis bisa begitu maju? Tumbuh 9 persen setahun selama beberapa tahun terakhir?
Maka kali ini saya bertekad untuk ke India. Tidak hanya ke ibu kotanya, tapi juga ke berbagai wilayahnya. Kota besar dan kota kecilnya. Saya ingin membandingkan seberapa gegap gempita pembangunannya, terutama karena saya selalu menyaksikan gegap gempita seperti itu di Tiongkok.
Saya memilih mendarat pertama di kota Chennai yang dahulu terkenal dengan nama Madras. Ini hanya semata-mata karena saya tidak mau mendarat menjelang tengah malam. Semua penerbangan dari Singapura ke India (ke New Delhi, Mumbai, Calcuta, Kolkata, Bangalore, Ahmedabad, Hyderabad) selalu tiba menjelang tengah malam atau setelah subuh. Itu akan menganggu ritme hidup saya yang masih perlu dijaga ketat setelah setahun ganti hati.
Begitu mendarat, terutama setelah melihat bandaranya, saya bertanya dalam hati: di mana itu wujud nyata dari terjadinya pertumbuhan ekonomi 9 persen selama lima tahun? Ah, mungkin saja bandaranya memang masih dalam proses perencanaan untuk dibangun yang baru. Maka saya keliling kota, antara lain dengan menyetir sendiri mobil milik relasi untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas. Tapi, saya benar-benar tidak mendapat kesan bahwa negeri itu ekonominya tumbuh 9 persen. Melihat kota Madras dari luarnya, saya mendapat kesan bahwa kota ini hanya tumbuh kira-kira 5 atau 6 persen. Seperti pertumbuhan ekonomi Indonesia sekarang ini.