KPK Ingatkan Potensi Korupsi di Pilkada
“Hasil survei KPK menemukan bahwa sebesar 82,3 persen dari seluruh calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menyatakan adanya donatur dalam pendanaan pilkada. Hadirnya donatur disebabkan karena adanya gap antara biaya pilkada dan kemampuan harta calon, di mana harta pasangan calon tidak mencukupi untuk membiayai pilkada,” ujarnya.
Sesuai catatan survei KPK, total harta rata-rata pasangan calon adalah Rp18,03 Miliar. Bahkan, ditemukan pula ada satu pasangan calon yang hartanya minus Rp15,17 juta.
Padahal, berdasarkan wawancara mendalam dari survei KPK, diperoleh informasi bahwa untuk bisa mengikuti tahapan Pilkada, pasangan calon di tingkat Kabupaten/Kota harus memegang uang antara Rp5-10 Miliar, yang bila ingin menang idealnya musti mempunyai uang Rp65 Miliar.
Banyak kepala daerah yang tersangkut tindak pidana korupsi. Hingga Juli 2020, telah 21 Gubernur dan 122 bupati/walikota/wakil terjerat korupsi yang ditangani oleh KPK.
Sebab itu, KPK menyuarakan urgennya pilkada berintegritas, yakni pilkada yang menghasilkan kepala daerah yang bebas benturan kepentingan.
Ketua Bawaslu pusat Abhan, mengemukakan bahwa kualitas dan integritas pemilihan di tingkat daerah merupakan salah satu indikator kesuksesan demokrasi. Penyelenggaraan pilkada berintegritas merupakan syarat mutlak terwujudnya pilkada berkualitas.
Politik uang, katanya, merupakan pelecehan terhadap kecerdasan pemilih, yang merusak tatanan demokrasi dan meruntuhkan harkat dan martabat kemanusiaan.
“Dampak politik uang adalah mematikan kaderisasi politik, kepemimpinan tidak berkualitas, merusak proses demokrasi, pembodohan rakyat, biaya politik mahal yang memunculkan politik transaksional, dan korupsi dimana anggaran pembangunan dirampok untuk mengembalikan hutang ke para cukong,” ungkap Abhan.