KPU Buka Peluang Pilkada Tidak Serentak
Sementara itu, sejumlah aktivis pemilu menyarankan hal yang lebih ekstrem. Yakni, menunda pilkada gelombang pertama dari Desember 2015 menjadi Juni 2016. ’’Bisa dengan melakukan revisi terbatas UU Nomor 8 Tahun 2015,’’ terang Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini.
Yurisprudensinya ada pada UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang bisa direvisi secara terbatas dalam waktu singkat. Jika dipaksakan tahun ini, pelaksanaannya bisa kacau karena anggaran belum siap.
Titi menjelaskan, pihaknya sudah menyurvei sejumlah daerah penyelenggara pilkada gelombang pertama. Hampir seluruhnya sudah berkomitmen menyediakan anggaran, meski tidak optimal. Misalnya, Provinsi Jambi yang mengajukan Rp 109 miliar, namun disetujui Rp 101 miliar. Juga, Poso, Sulteng, yang mengajukan Rp 21 miliar, namun disetujui Rp 15 miliar.
’’Nilai yang disetujui itu hanya untuk pembiayaan tahapan, belum termasuk biaya kampanye,’’ terangnya. Rata-rata daerah yang disurvei belum menganggarkan dana kampanye dengan alasan masih membahasnya.
Saran senada disampaikan Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yenny Sucipto. Dia mempertanyakan klausul awal pilkada yang didanai APBN berubah menjadi didanai APBD.
Seharusnya, pembuat UU tetap pada komitmen awal bahwa pilkada didanai pusat. ’’Pendanaan pilkada oleh APBD sejak dulu terbukti menjadi alat tawar-menawar politik, terutama oleh incumbent yang mencalonkan diri lagi,’’ tuturnya.
Hasil penelitian pihaknya juga menunjukkan, kapasitas fiskal daerah saat ini sangat rendah. Sangat sedikit anggaran yang bisa digeser ke pilkada.
Akhirnya, sejumlah daerah terpaksa mengorbankan sebagian dana publik seperti pendidikan dan kesehatan untuk melaksanakan pilkada. ’’Tidak mungkin pemda mengurangi anggaran gaji pegawai,’’ tambahnya. (byu/JPNN/c5/diq)