Kusuma Wijaya, Dosen Tamu di Singapura yang Juga Korban Peristiwa 1965
Tak Tahu Apa-Apa, Mendadak Keluarga DikucilkanMeski Kusuma tidak pernah bertemu dengan kakeknya, dia sering mendengar cerita tentang kebaikannya pada masa itu. Menurut dia, sang kakek adalah orang yang baik dan tidak pernah terlibat dalam gerakan PKI.
”Kakek saya adalah penabuh gendang di kelompok karawitan sejak PKI belum masuk Madiun. Saat itu semua anggota karawitan dianggap PKI,” ujar lelaki berusia 42 tahun itu.
Suami Sri Wulan tersebut mengakui bahwa peristiwa 1965 telah membuat seluruh keluarganya menderita. Akibat peristiwa itu, dia harus rela diusir dari tempat tinggal asalnya di Madiun.
”Setelah pergi dari Madiun, kami sekeluarga memilih hidup di Surabaya. Kami memulai kehidupan baru dan melupakan kenangan buruk. Tetapi, ada suatu kejadian yang membuat semua itu berubah,’’ tambah pria yang kini menjadi dosen Fakultas Sastra Inggris di Universitas dr Soetomo (Unitomo) Surabaya tersebut.
Kusuma mengatakan, ada tetangganya dari Madiun yang menyusul ke Surabaya. Dia memberi tahu bahwa warga lingkungan sekitarnya sudah mengecap keluarga Kusuma sebagai PKI. Akibatnya, keluarga Kusuma dikucilkan.
Sejak itu tak ada satu pun tetangga yang peduli pada keluarganya. Akibat peristiwa itu pula, ayah Kusuma berpesan untuk selalu menutupi identitas asli keluarganya.
Namun, ternyata hal tersebut tidak mudah bagi Kusuma. Sewaktu duduk di bangku SMP, dia pernah dipercaya sekolah untuk menjadi wakil dalam pemilihan siswa teladan tingkat kabupaten. Saat itu dia duduk di kelas dua SMP Negeri Prigon, Pasuruan. Ayah Hayang R. dan Widyaningrum Wulansari itu ingat bahwa dirinya telah berhasil di tingkat kecamatan dan lolos ke tingkat kabupaten.
Di kabupaten, Kusuma memperoleh nilai yang baik. Tetapi, dia tidak bisa menjadi siswa teladan. Panitia beralasan, Kusuma masih cucu anggota PKI dan tidak berhak memperoleh gelar siswa teladan. ”Saya sedih. Tapi, saya tahu itu bakal terjadi,” ucapnya.