Lagi-Lagi, Ujungnya Menunggu Mister Presiden
KALAU bisa diperlambat, mengapa harus dipercepat? Kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah? Kesan itulah yang terasa dari Focus Group Discussion (FGD) di lantai 7 Gedung Indopos, Jalan Raya Kebayoran itu. Sangat antagonis dengan spirit Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 yang dilaunching Presiden SBY, di Jakarta Convention Center, 27 Mei lalu. Dalam FGD yang berlangsung hangat dan serius itu akhirnya sepakat akan sejumlah hal. Misalnya, industri Indonesia tidak akan mati, sekalipun terjadi deindustrialisasi.
jpnn.com - Tentu, ini bukan kesimpulan pesimistis dari fokus diskusi ini, tetapi lontaran sarkartis itu justru berharap bisa memacu negara ini bahwa kita masih harus bekerja keras memaksimalkan tumpah ruahnya potensi yang ada. ”Kita butuh leadership di tingkat nasional, hingga tingkat daerah,” kata Anton J Supit Ia mengakui, masih ada aliran investasi dari luar yang terus masuk ke Indonesia. Namun, menurut dia, tetapi lebih karena diuntungkan oleh situasi. “Misalnya, saat ini, di India dan Tiongkok mulai ada demo-demo tuntutan kenaikan upah buruh.
:TERKAIT Isu seperti ini sangat sensitif, sehingga investor mencari tempat pilihan-pilihan,” katanya. Sedangkan, soal keputusan anti dumping yang masih terkatung-katung dan penuh dengan ketidakpastian, forum ini sepakat bahwa pawangnya adalah pemerintah. Pimpinan tertinggi di negeri ini, yang bisa melakukan percepatan. Ujung dari problematika ini ada di Mister Presiden, kecuali Menko Perekonomian Hatta Rajasa bisa menghandle persoalan ini dengan baik. Bola ada di pemerintah. Forum sepakat, bahwa ibarat bermain sepak bola, penendang penalti itu adalah Presiden SBY. Tidak sulit kalau mau. Apalagi, dua tahun terkatung-katung itu waktu yang amat berharga bagi pengusaha. Mau berapa lama lagi? Ketua Umum Aptindo Franky Wellirang menegaskan, bahwa semua ketentuan untuk menentukan anti dumping sudah dipenuhi. Ia juga mengaku sudah bertemu dengan pejabat-pejabat terkait, dan pernah menjanjikan akan segera diselesaikan dalam 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Ya, 100 hari itu sudah lewat lama.
Dia tidak berani menagih, tidak elok rasanya dalam adat ketimuran. Dia juga tidak berani menyoal, karena itu seolah meremehkan tim ekonomi pemerintah. ”Tapi, sampai sekarang, sudah berapa ratus hari, dan belum ada keputusan,” kata Franky yang disambut gelak tawa peserta diskusi. Franky berharap, bahwa keputusan anti dumping diputuskan oleh institusi pemerintah, bukan oleh individu atau pejabat tertentu. Direktur PT. Sriboga Alwin Arifin sebagai petisioner penerapan anti dumping terigu Turki menambahkan, bahwa pengajuan bea masuk anti dumping bukan karena pihaknya takut bersaing dengan produk-produk impor. “Kami siap bersaing dengan siapa pun. Namun, persaingan harus fair, jauh dari praktik-praktik curang dong?” ujar Alwin. Lain lagi dengan Prof. Inne Minara Ruki. Peneliti Senior LPEM-UI itu berpendapat, distorsi dari terkatung-katungnya masalah anti dumping ini yang harus diperankan oleh Menko Perekonomian. Karena itu, bola putusan anti dumping sebenarnya tidak jauh-jauh amat dari posisi Menko Perekonomian. ”Dan jelas, terkatung-katungnya situasi ini telah menjadikan kredibilitas institusi negara ini makin dipertanyakan.
Sampai saat ini, pemerintah tidak pernah memberikan penjelasan, mengapa keputusan ini dibiarkan mengambang?” Dalam beberapa hal, lanjut Prof Inne, pemerintah itu maunya konsisten dalam melakukan pembelaan produknya di luar negeri. Di mana, jalur yang digunakan adalah WTO. ”Tetapi, mengapa ketika ada kejadian curang produk impor di dalam negeri justru tidak konsisten?” Ada kesan pemerintah justru tidak mempercayai institusinya sendiri Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). “Sebenarnya, pemerintahkan tinggal memutuskan apa yang sudah menjadi rekomendasi institusnya. Kalau Turki tidak terima, kan mereka bisa menyoal masalah ini ke WTO, seperti yang dilakukan pemerintah Indonesia. Ini mekanisme sendiri yang sudah diatur mekanis menya? Kenapa mesti ragu?” tegas Inne. Ditegaskan pula, penerapan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) merupakan langkah hukum yang diatur dalam perjanjian Lembaga Perdagangan Dunia WTO. Karena esensi BMAD adalah untuk menghukum pelaku usaha tertentu dari negara tertentu yang melakukan praktik curang. Sedangkan melakukan pembiaran melakukan praktik dumping, jelas menurunkan wibawa pemerintah.
Karena hal ini merupakan cermin bahwa penegakan hukum di dalam negeri tidak berjalan sebagaimana mestinya. “Ini semua harus dibenahi, kalau pemerintah memang berkomitmen untuk membesarkan bangsa ini,” kata politisi dari PDI Perjuangan Arief Budimanta. Arief menegaskan, persoalan anti dumping merupakan persoalan kedaulatan bangsa. Karena itu, tidak boleh dibiarkan menggantung. Anggota Fraksi PDI Perjuangan di DPR ini juga mengingatkan agar peran negara dalam menegakkan kedaulatan barang-barang di luar negeri segera dibenahi. ”Sejauh ini, pembelaan otoritas pemerintah belum kelihatan,” ujarnya. ”Tetapi bagaimana menegakkan kedaulatan barang-barang ekspor di luar negeri, kalau yang terjadi di dalam negeri saja tidak bisa segera dibereskan,” sela Arief yang disambut gelak tawa. ”Tidak, pemerintah harus segera membenahi persoalan ini, sebelum kita terpuruk lebih jauh,” ujarnya. Menurutnya, sudah saatnya bangsa In donesia berdiri tegak di atas kedaulatan bangsa sendiri.
Tidak perlu rendah diri, karena utang. ”Negara kita itu sudah membayar utang. Semua utang-utang itu telah kita bayar, saatnya kita berdiri tegak dan melawan segala praktik-praktik ketidak adilan,” ujarnya. Direktur Eksekutif Aptindo Ratna Sari Loppies lebih mengingatkan bahwa pihaknya sudah mempersiapkan upaya hukum melalui PTUN, jika persoalan ini tidak segera mendapatkan green light pemerintah. ”Bahkan, kami sudah menyiapkan pengacara dan mengumpulkan sebuah data yang dibutuhkan,” kata Ratna. Langkah hukum telah disiapkan, Aptindo telah menggandeng pengacara Bambang Wijoyanto. ”Bambang juga akan melibatkan ICW, karena menurutnya terkatung-katungnya BMAD terigu Turki ini sangat mungkin dan masuk akal, bakal ditemukan unsur-unsur kerugian negara,” kata Ratna. Untuk diketahui perhitungan potensi kerugian negara yang sudah diperhitungkan oleh Bambang Wijoyanto akibat tertundanya kebijakan ini pada tahun 2010 s/d Juni 2011 dapat mencapai +/- 350 Miliar, angka ini didapat dari angka 20% (angka rekomendasi KADI) dari total import terigu Turki dari data BPS. (habis/lum)