Larangan Pemberian Bantuan BPJS Kesehatan Untuk Perokok Diprotes
JAKARTA - Wacana Pemerintah Gorontalo untuk tidak memberikan bantuan melalui BPJS Kesehatan bagi perokok menuai protes. Kebijakann itu dianggap sebagai bentuk aksi dari pengurangan hak-hak dasar warga negara.
Mantan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Djoko Sungkono mengingatkan, sesuai Undang-Undang No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Nasional Kesehatan (SJSN), semua warga negara berhak mendapat hak jaminan perlindungan kesehatan apabila mengalami risiko sakit, termasuk mereka yang merokok.
"Cara-cara kampanye untuk tidak merokok boleh saja, tetapi tidak sampai harus mengurangi hak hak dasar yang harus didapat warga negara yang dijamin undang-undang," kata Djoko kepada wartawan, Rabu (21/1).
Ia menambahkan, pada 2019 nanti tidak ada lagi orang Indonesia yang tidak dapat kepastian perlindungan kesehatan karena sudah dijamin UU SJSN dan UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Memang, di daerah masih ada layanan seperti Jamkesda yang dibiayai oleh APBD namun pada awal 2017, semua akan ditanggung oleh pusat. APBD hanya untuk menyokong infrastruktur kesehatan saja.
"Jadi persoalan merokok atau tidak, tidak ada aturan yang kemudian menghilangkan hak orang itu mendapatkan layanan kesehatan," tandasnya.
Terpisah, Koordinator Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK) Zulvan Kurniawan mengingatkan pemerintah daerah tidak boleh gegabah dalam mengeluarkan pernyataan.
"Rencana kebijakan seperti itu jelas salah kaprah. Jaminan seperti BPJS Kesehatan kan tidak murni pemerintah tapi model asuransi dengan premi, bukan layanan pemerintah full. Kalau mau, ya, bedakan saja preminya antara perokok dan bukan," ujar Zulvan, saat dihubungi wartawan, Rabu (21/1).
Ia menduga, rencana kebijakan pemerintah daerah Gorontalo seperti itu asal bunyi dan juga tidak melihat secara jernih efeknya. Sudah sering terjadi, kebijakan seperti itu hanya akan mamancing kontroversi.
"Saya takutnya ini hanya asal bunyi saja, terkesan salah kaprah, tapi jika diterapkan jelas berbahaya, karena ada dikotomi," tegasnya.
Ia mengingatkan, sebagai produk turunan tembakau, rokok juga masih kategori barang legal sehingga siapa saja berhak membeli atau mengonsumsi. Akan lebih baik, ketimbang membuat pernyataan salah kaprah, pemerintah pusat dan daerah fokus menegakan aturan juga jangan sampai terkesan berlebihan dan malah mematikan industri.
Belum lagi, maraknya kampanye hitam asing tentang kretek nasional yang bertujuan untuk mematikan ekonomi nasional. “Aturan kita saat ini sebenarnya sudah cukup berat bagi petani tembakau dan industri kecil,” tegasnya. (awa/jpnn)