Lima Alasan Anak Muda Tolak UN
jpnn.com - JAKARTA - Perjuangan Sekretaris Jenderal Federasi Guru Indonesia (FSGI) yang juga aktivis Koalisi Reformasi Pendidikan (KRP), Retno Listyarti menentang Ujian Nasional dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa tak pernah surut.
Dikatakan Retno, dari tahun ke tahun, drama seputar UN seakan tidak pernah selesai. Dari kasus bunuh diri siswa yang tidak lulus, siswi hamil yang tidak boleh mengikuti UN, bocoran soal, guru dan murid berjamaah melakukan kecurangan, hingga yang terakhir, distribusi soal yang carut-marut.
"Yang jelas, dari episode ke episode, anak muda sebagai peserta didik terus menjadi korban dalam persiapan dan pelaksanaannya," kata Retno kepada JPNN, Sabtu (28/9).
Dikatakannya, penyelenggaraan UN merupakan bentuk nyata betapa tidak demokratisnya pendidikan di Indonesia. Di tengah perdebatan para pakar dan pihak Kemendikbud, pihak yang paling menanggung beban UN menurutnya adalah pendidik dan peserta didik.
Karena itu, kata Retno, ada lima alasan nyata mengapa anak muda mayoritas menolak UN. Pertama, absennya partisipasi anak muda, dalam hal ini peserta didik dalam penentuan keputusan apakah UN harus dilaksanakan atau tidak.
"Pernahkah siswa diundang dalam konvensi (UN) Kemendikbud? Pernahkah anak muda diberikan ruang untuk berpendapat dalam pengambilan keputusan oleh Kemendikbud dan parlemen? Dan kalaupun diberikan ruang, apakah pendapatnya didengar dan dielaborasi?," kata Retno.
Padahal, lanjut dia, setiap tahun selalu ada pengaduan dan selalu terdapat siswa yang menjadi korban, tapi Kemendikbud tidak pernah peduli, apalagi menanyakan ke siswa bagaimana pendapat mereka tentang UN.
Alasan kedua kata Retno, UN sebagai standar kelulusan memberikan beban fisik dan psikologis. Siswa Harus menambah waktu belajar hingga menyita alokasi waktu untuk pengembangan diri mereka, stres karena takut tidak lulus, dan jika tidak lulus bahkan bisa depresi hingga bunuh diri.