Lobi Pejabat Kalahkan Kepentingan Nasional
JAKARTA-Ketua Asosiasi Pedagang Indonesia Anton J Supit menilai, berlarutnya- larutnya penetapan BMAD tepung terigu Turki oleh pemerintah merupakan bentuk tidak konsistennya pemerintah dalam menjalankan undang-undang maupun peraturan. Karena, lanjut Anton, rekomendasi antidumping yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan akhir Mei 2009 sebenarnya sudah melalui mekanisme panjang yang dibenarkan WTO, di mana Indonesia juga sebagai anggotanya.
jpnn.com - ’’Banyak Negara juga menerapkan hal serupa, dengan standar sama,’’ ujarnya. Di Indonesia, proses panjang melalui investigasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) hingga menghasilkan kesimpulan bahwa perdagangan terigu Turki di Indonesia telah melakukan praktik curang, kemudian terigu Turki harus dinisme panjang yang dibenarkan WTO, di mana Indonesia juga sebagai anggotanya.
:TERKAIT ’’Banyak Negara juga menerapkan hal serupa, dengan standar sama,’’ ujarnya. Di Indonesia, proses panjang melalui investigasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) hingga menghasilkan kesimpulan bahwa perdagangan terigu Turki di Indonesia telah melakukan praktik curang, kemudian terigu Turki harus dikenai BMAD. Kini rekomendasi Kemendag itu mandeg di Kemenkeu. Sudah hampir dua tahun, rekomendasi itu tidak turun-turun, digantung tanpa penjelasan. Sekarang ini, kata Anton, pihaknya justru kasihan kepada Menteri Keuangan.
Sebab, saat ini yang menjadi sorotan macetnya rekomendasi itu ada di Kementerian Keuangan. ’’Padahal, kalau kita mau bicara jujur, surat Kemenkeu itu macet karena ada kendala non teknis, akibat lobi dari seorang pejabat tinggi di lingkaran istana,’’ kata Anton tanpa menyebut nama sang pejabat yang dimaksud. Malahan, lanjut Anton, pejabat tinggi ini sempat meminta agar rekomendasi BMAD Kemendag itu dibatalkan. ’’Kemendag tentu tidak mau. Rekomendasi itu kan hasil investigasi yang bisa dipertanggungjawabkan. Kalau dibatalkan, bagaimana kredibilitas pemerintah di mata negara lain,’’ papar Anton Soal ini tidak pernah keluar ke media. ’’Sehingga banyak pihak yang menyalahkan kementerian keuangan,’’ ujar Anton. Jadi, kesan bahwa pemerintah seakanakan lamban itu sebenarnya karena ulah oknum pejabat tinggi itu.
’’Lobi pejabat tinggi yang akhirnya mengalahkan kepentingan nasional,’’ Anton menegaskan. Direktur Eksekutif Aptindo Ratna Sari Loppies meyakini, bahwa pengenaan antidumping terhadap terigu Turki tidak akan mengganggu hubungan bilateral antara Indonesia dan Turki. ’’Kalau itu yang digunakan sebagai alasan, mengapa barang-barang kita yang babak belur di Turki tidak dibela. Tetapi, malah barang Turki yang masuk ke Indonesia yang dibela, meski itu mematikan industri dalam negeri,’’ ujarnya. Di negara manapun, tidak ada lobi pejabat tinggi yang mengalahkan kepentingan nasionalnya. ’’Sekarang, apa kepentingan kita dengan Turki? Ekspor kita ke sana semua dikenai BMAD,’’ katanya. Sewajarnya, setiap negara pasti akan melindungi industri dalam negerinya dari ancaman dari luar. ’’Tetapi, saat ini di Indonesia justru terbalik.
Membuka kran impor untuk mematikan industri lokal.’’ Lalu apa kepentingan pejabat tinggi itu mengganjal BMAD Turki? Tidak ada yang memberikan penjelasan. Namun, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, saat ini Turki memang menguasai 60 persen pasar terigu impor di Indonesia. Dengan nilai perdagangan selama kurun waktu 2009/10 mencapai sekitar Rp 3 triliun. Di negara manapun selalu berusaha membendung arus industri yang mengancam industri dalam negeri, sementara dalam kasus perdagangan tepung terigu pemerintah Indonesia justru bertindak sebaliknya. Membuka kran impor terigu, sekalipun mengancam industri lokal. ’’Nah ini kan hanya menguntungkan oknum pejabat yang bermain, tanpa mempertimbangan kepentingan nasional.’’ Peneliti Senior LPEM-UI Prof.Dr Inne Minara Ruki menegaskan, ada kesalahan persepsi dalam kebijakan dagang dan kebijakan persaingan di Indonesia saat ini, yang membuat rekomendasi BMAD menggantung atau terkatung-katung.
Berlarut-larutnya antidumping di Indonesia akibat adanya kesalahan persepsi yang kemudian diamunisi dengan persepsi negatif terhadap penguasa pasar terigu Indonesia Bogasari. ’’Sehingga, seolah-olah ada satu alasan tidak perlunya diterapkan BMAD. Dengan persepsi ini, pemerintah menjadi gamang,’’ kata Inne. Padahal, menurut Inne, jika pemerintah tidak menetapkan bea masuk antidumping (BMAD), Bogasari sebagai pemimpin pasar akan mampu bertahan dalam jangka lama. ’’Namun industri (tepung terigu yang lebih kecil) akan sulit untuk bertahan. Selain itu, pada gilirannya nanti, sangat mungkin, struktur industri tepung terigu akan kembali menjadi monopoli. Di industri itu pemain menjadi hanya dua, yaitu Bogasari dan importir. Berdasarkan penelitiannya, pangsa pasar perusahaan terbesar di industri tepung terigu yaitu Bogasari terus menurun dari 90.08 pada 1994 menjadi 71.70 persen pada 2002. Perhitungan itu, kata dia, berdasarkan data nilai total output industri dan nilai impor. ’’Bahkan menurut Aptindo (Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia) pada 2008 pangsa pasar Bogasari sudah sekitar 57 persen,’’ ujarnya. Sementara Staf Ahli Menteri Perindustrian Fauzi Aziz menegaskan kementeriannya terus akan mendukung tumbuhnya industri nasional, termasuk industri tepung terigu. Bahwa kemudian ada persoalan, menurut Aziz, memang harus diselesaikan.
’’Secara teknis, penyelesaian persoalan itu sudah benar. Sekarang tinggal bagaimana memfinalisasi pada tingkatan menteri, tetapi kan semua persyaratan penyelesaian masalah itu sudah jelas,’’ katanya diplomatis. Sementara politisi dari PDI Perjuangan Dr. Arief Budimanta mendesak pemerintah untuk segera memutuskan rekomendasi antidumping yang sudah dikeluarkan Kementerian Perdagangan. ’’Kalau pun ada persoalan lain yang mengganjal, harus ada penjelasan. Harus ada alasan jelas, jangan dibuat menggantung, dan industri dalam negeri harus menanggung risikonya.’’ Menurut Arief, bola antidumping sekarang masih berada di ranah pemerintah. ’’Apakah pemerintah akan konsisten dengan janjinya menaati hukum dan peraturan yang sudah ada, atau sebaliknya akan mengorbankan harga diri demi kepentingan oknum atau sekelompok kecil. Mari kita tunggu sama-sama,’’ ujarnya. Focus Group Discussion (FGD) INDOPOS ini menghadirkan Peneliti Senior LPEMUI Prof Dr Inne Minara Ruki, Politisi PDI Perjuangan dan Anggota DPR Dr Arief Budimanta, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Anton J Supit, Staf Ahli Menteri Perindustrian Fauzi Aziz, Ketua Umum Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (APTINDO) Fransiskus Wellirang, Direktur PT Eastern Pearl Jason Craig, Direktur Eksekutif APTINDO Ratna Sari Loppies, dan pelaku UKM Kasim. (bersambung)