Mari Mas
Oleh: Dahlan IskanHarjanto, ketua perkumpulan itu, tidak setuju ada pembedaan. "Gus Dur itu tokoh antidiskriminasi, kok sajennya saja dibedakan," ujarnya.
Saya sudah beberapa kali ke Kelenteng Gudo. Pak Harjanto baru sekali itu. Maka malam itu ia bermalam di Jombang. Sekalian menikmati kikil kambing dan rawon kesukaan Gus Dur.
Paginya ia ke makam Presiden ke-4 RI itu. Di kompleks pesantren Tebuireng, Jombang. Ia terpana. Begitu banyak peziarah di makam itu. Tidak pernah putus.
Harjanto langsung punya ide: di hari cengbeng depan ia akan mengadakan tur ke makam Gus Dur. "Pasti banyak orang Tionghoa yang ingin ke makam Gus Dur, tetapi tidak tahu caranya," katanya.
Pada hari cengbeng, orang Tionghoa wajib ke kuburan orang tua atau leluhur. Pada hari cengbeng seperti itu penerbangan penuh padat, apalagi jurusan Jakarta-Pontianak. Sampai ada penerbangan ekstra.
Berarti cengbeng ke makam Gus Dur akan dilakukan sebelum atau sesudah hari cengbeng.
Harjanto hafal banyak ayat Al-Qur'an atau hadis Nabi Muhammad. Ia juga hafal lagu-lagu Yaa Lal Wathan ciptaan KH Wahab Chasbullah. Hubbul wathan minal iman –yang dipelesetkan oleh Gus Reza dari Pesantren Lirboyo menjadi hubbul madon minal iman.
Harjanto jugalah yang setiap Mei memperingati Tragedi Mei 1998 –dengan caranya sendiri. Ia pernah membuat pementasan ketoprak Putri Cino –mengisahkan tragedi itu. Salah satu bintangnya Soimah –sebelum ngetop seperti sekarang.