Melesat Kencang Secepat Kereta Shinkansen
Menko Hatta Rajasa pun geregetan, ketika disentil dengan pertanyaan “kapan” itu? Dia seperti habis tersengat ulat matahari, yang membuat muka dan telinganya memerah. Panas, gatal, cemas, berbaur menaikkan tensi dan detak jantung. “Terus terang, saya ingin berlari kencang, secepat kereta peluru Shinkansen!” jawabnya serius
jpnn.com - Tak ada satu alasan pun yang membuatnya galau, untuk melangkah lebih cepat dan melompat lebih jauh. Working group terus berproses, joint meeting terus mengalami kemajuan yang berarti, bahkan intensitasnya lebih ditingkatkan. Regulasi baru dalam hal investment area juga terus disosialisasi. Semua progres mengarah kuat menuju realisasi. “Kami jaga ritmenya agar lebih cepat, minimal masih dalam frame time yang sudah tersusun, sambil membenahi kondusivitas iklim investasi dalam negeri,” ucap Hatta Rajasa.
Iklim? Memang ada apa dengan iklim investasi? “Jujur sajalah, nggak usah ditutup-tutupi, masih banyak hal yang secara internal harus dibereskan. Karena keluhan itu juga muncul dalam The Third Steering Committee Meeting of MPA for Investment and Industry itu,” kata Hatta, sambil mengenang permohonan Menlu Jepang Koichiro Gemba dan Menteri Ekonomi, Perdagangan dan Industri Yukio Edano di Likura Guest House, Tokyo, 9 Oktober lalu itu.
Perburuhan yang mereka contohkan, sudah bukan menjadi rahasia lagi, sekarang bahkan menjadi warning amat krusial dalam investasi. Demo-demo buruh itu sudah sampai pada tingkat “mengkhawatirkan” iklim penanaman investasi di Indonesia.
“Berapa kali saya sendiri harus menyelesaikan persoalan perburuhan dan demo-demo itu? Yang terakhir, saya sampai lima jam berdialog dengan mereka. Harusnya mereka merencanakan mogok lima hari, dan itu sangat berbahaya. Saya turun tangan sendiri! Ini sepulang ke tanah air juga sudah ditunggu oleh mereka. Anda bisa bayangkan, sebegitu serius suasana perburuhan itu di mata investor yang akan menggelontorkan modal projek Rp 410 Triliun?” ungkapnya.
:TERKAIT Hatta mengakui, tidak gampang menuntaskan urusan perburuhan itu. Tidak gampang itu bukan berarti tidak bisa. “Outsourching itu tidak dibenarkan lagi dalam UU kita. Tetapi karena ada keterlanjuran, maka harus ada transisi. Kuncinya di situ, berundingnya adalah berapa lama masa transisi itu? Bukan lagi pada boleh dan tidak boleh outsourching? Lelah, mendiskusikan hal yang tidak ada ujungpangkalnya,” kata Hatta mantan Presiden Direktur Arthindo, yang nota bene juga mantan pengusaha itu.
Menurut Hatta, hanya ada lima jenis yang masih diperbolehkan. Yakni, perusahaan perminyakan, perusahaan keamanan atau security, perusahaan cleaning service, transportasi dan catering. Lalu bagaimana kalau perusahaan itu hanya membutuhkan tenaga kerja tambahan dan berjangka waktu pendek? Misalnya tiga-empat bulan saja?
“Nah, itu bisa saja, tetapi istilahnya kontrak kerja. Bukan outsourching, jangan disiasati. Perusahaannya berjangka panjang, tetapi menggunakan model outsourching. Labour supplay ini menyangkut kesejahteraan, jadi bisa menjadi persoalan krusial. Contohnya, di Jabodetabek buruh dibayar Rp 1,5 juta? Mana cukup? PNS saja sudah di atas Rp 2 juta?” ungkapnya.
Goalnya adalah, buruh harus ada jaminan kesejahteraan, tetapi perusahaan juga harus tetap sehat. Spiritnya, mencari solusi terbaik, bukan saling memaksakan kehendak. Semangatnya, harus saling mendukung, agar iklim investasi tetap kondusif, dan sustainable.