Melihat Islam di Papua dengan Tradisi Nyala Damar Menjemput Lailatul Qadar
Menurut dia, tradisi tersebut bahkan tak hilang meski Belanda melakukan represi di Papua pada 1940-an hingga 1960-an. Warga tetap menyalakan damar meski pihak Belanda sempat melarang ritual tersebut. Pada masa itu Belanda memang tengah mengukuhkan basisnya di Papua sekaligus membawa misi gospel (penyebaran agama).
"Tapi, kami tetap setia menjalankan ritual ini. Menambah iman sekaligus sebagai bentuk perlawanan," kata Temongmere. Menurut dia, Islam sudah jauh masuk lebih dulu ketimbang Blanda di Papua. Ucapan Temongmere tersebut beralasan. Islam memang sudah masuk jauh lebih dahulu ketimbang misionaris pertama tiba pada akhir abad ke-19.
Dari uraian sejarah, Islam masuk Papua antara abad ke-15 dan 16. Itu terlihat dari adanya musala di Tunasgain yang diperkirakan berdiri pada 1587. Dari pertemuan sejarah di Fakfak pada 1997, setidaknya ada empat versi yang sama kuat.
Yang pertama, adanya seorang sufi Arab bernama Syarif Muaz al-Qathan yang bergelar Syekh Jubah Biru, datang pada sekitar 1550. Kemudian, pendapat kedua adalah Islam dibawa Sultan Abdul Qadir, juga dari Arab. Lalu Islam dari Kesultanan Bacan yang dibawa Sultan Mohammad al-Baqir. Dan yang terakhir adalah Sultan Zainal Abidin dari Tidore yang pernah menguasai Papua.
Di samping itu, ada sejumlah teori lainnya, yakni dari Banda dan Jawa. Namun, apa pun teorinya, Islam kali pertama masuk melalui kawasan pesisir Papua Barat. Seperti di Raja Ampat, Fakfak, dan Kaimana.
Bisa jadi semua teori tersebut benar. Sebab, pada pelaksanaan ritual Islam di Fakfak terlihat ada campuran dari berbagai tradisi Islam di Nusantara. Misalnya, pada syair barzanji maupun ayat-ayat Alquran yang diputar, terkesan tradisi Jawanya.
Namun, sejumlah aspek ritualnya memiliki banyak kesamaan dengan seperti Islam di Maluku Kie Raha (empat Kesultanan Islam). Misalnya, salat pakai peci dan baju gamis. (*/c9/sof)