Memampukan Sistem Hukum Ketatanegaraan Mengelola Beragam Krisis
Oleh: Bambang SoesatyoNamun, berpijak pada hukum ketatanegaraan itu pula, amuk krisis pada skala sebesar apa pun tidak pernah boleh menoleransi sikap dan tindakan-tindakan inskonstitusional yang berpotensi mengganggu ketahanan nasional atau mengarah pada upaya merusak persatuan dan kesatuan negara bangsa.
Dalam konteks ini, pernyataan atau catatan yang dikedepankan oleh pakar hukum tata negara Prof Dr Yusril Ihza Mahendra patut digarisbawahi, untuk kemudian direnungkan oleh segenap elemen bangsa.
Patut pula disyukuri karena potensi masalah yang ditunjuk Prof Yusril dikedepankan ke ruang publik ketika negara bersama segenap elemen bangsa sedang melakoni aneka perubahan.
Memang benar bahwa perubahan zaman menghadirkan banyak manfaat bagi kehidupan bernegara-berbangsa, namun perubahan itu nyata-nyata pula telah menghadirkan potensi masalah.
Semua potensi masalah itu wajib diwaspadai untuk kemudian disikapi.
Prof Yusril kemudian mengajak semua pihak untuk mengenang kembali krisis politik 1966/67 dan krisis politik 1998.
Krisis politik 1966/67 terjadi akibat pergolakan berdarah yang dikenang sebagai peristiwa G-30-S/PKI.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menilai Presiden Soekarno gagal memberi pertanggungjawaban.