Membaca Paradoks Jokowinomics dan Gelagat Kegagalannya
Oleh Dr. Fadli Zon, M.Sc*jpnn.com - Sepanjang tahun 2017 perekonomian Indonesia banyak dipenuhi kabar murung. Hal itu tak lepas dari strategi pembangunan pemerintah yang tak jelas.
Dari awal pemerintah sepertinya memang tak punya konsep yang jelas dalam pembangunan. Ini bisa kita lihat dari jargon yang dibangun.
Saat naik, Presiden Joko Widodo mengusung jargon Revolusi Mental yang akan jadi cetak biru kerja pemerintah selama lima tahun. Tapi, kemudian pemerintah justru mengejar pembanguna infrastruktur fisik. Jadi, antara wacana yang diproduksi dengan praktik yang dikerjakan tidak nyambung.
Semula saya mengira Revolusi Mental itu akan jadi sejenis gagasan people centered development model David Korten. Gagasan itu adalah kritik terhadap konsep pembangunan ekonomi yang berorientasi mengejar pertumbuhan dengan mengabaikan aspek pembangunan manusia dan lingkungan.
Tapi, dugaan itu ternyata keliru. Pemerintah sendiri kini bahkan tak pernah menyebut lagi jargon Revolusi Mental tersebut.
Inkonsistensi juga bisa kita lihat dari jargon pembangunan maritim. Bervisi mengembalikan kejayaan ekonomi maritim, pemerintah justru membangun jalan tol di darat.
Tapi ada yang lebih aneh lagi. Pemerintah malah hendak melepas pengelolaan 20 pelabuhan ke pihak swasta.
Penggunaan dana publik untuk membangun jalan tol adalah hal ironis, karena kemudian publik tetap harus membayar mahal untuk menggunakannya. Lihat saja ruas tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) yang belum lama ini diresmikan Presiden Jokowi, tarifnya mencapai Rp 14 ribu untuk panjang 12 km. Jadi, masyarakat harus membayar lebih dari Rp 1.000 per kilometernya.