Menaker Dorong Pemda Cirebon Tingkatkan Kompetensi TKI
jpnn.com - CIREBON – Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri mengatakan, Kabupaten Cirebon termasuk kantong TKI terbesar. Karena itu, dia mendorong pemerintah daerah agar meningkatkan kompetensi angkatan kerja di Kabupaten Cirebon. Targetnya tak lain peningkatan jumlah TKI formal dibanding informal.
Dikatakannya, salah satu masalah yang dialami para TKI, umumnya kesalahan proses rekurtmen di dalam negeri. Pembenahan mekanisme rekrutmen di daerah asal tersebut merupakan solusi perlindungan terhadap TKI.
Dalam aturan baru tersebut, para calo TKI atau petugas rekrut harus diangkat sebagai karyawan resmi perusahaan pengerah TKI atau Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang dilengkapi surat pengangkatan atau surat kontrak.
“Para petugas rekrut harus dilengkapi surat tugas dan identitasnya tercatat secara resmi di dinas ketenagakerjaan daerah. Petugas PPTKIS itu pun dilarang memungut biaya rekrut kepada calon TKI,” kata Hanif saat melakukan kunjungan pada kegiatan Pergamanas di Pondok Pensantren Khas Kempek, Kecmatan Gempol, Kabupaten Cirebon, Jumat (9/1).
Sementara itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Cirebon Deny Agustin menyebutkan, setidaknya terdapat 5.000 TKI informal di wilayahnya. Jumlah itu, terhitung nyaris seimbang dengan TKI formal. Namun menurutnya, TKI informal masih lebih banyak.
“Salah satu persoalan dalam TKI yakni banyaknya pekerja di sektor informal dibanding formal. Kami mengupayakan TKI formal meningkat dibanding informal, sebagaimana target pemerintah pusat untuk 2017 nanti,” ujar Deny Agustin dilansir Radar Cirebon (Grup JPNN.com), Sabtu (10/1).
TKI formal sendiri, menurutnya, berarti mereka yang bekerja di luar negeri pada berbagai perusahaan atau organisasi berbadan hukum, memiliki kontrak kerja yang kuat, serta dilindungi secara hukum. Sementara TKI informal lebih mengarah pada mereka yang bekerja sebagai penata laksana rumah tangga.
Dia menjelaskan, sebenarnya tak sedikit industri-industri di luar negeri yang membutuhkan TKI. Sayangnya, rata-rata warga justru lebih memilih menjadi TKI informal ketimbang formal. Situasi ini juga tak lepas dari tingkat pendidikan mereka yang terbatas.