Mendagri Sebut Prosedur Pembubaran FPI Ruwet
jpnn.com - JAKARTA - Pemerintah belum bisa mengambil langkah tegas terkait tindakan anarkistis yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI) di Kendal. Alasannya, terganjal prosedur dalam Undang-Undang yang panjang dan berbelit. Banyak pihak mendesak agar FPI dibubarkan.
Namun menurut Mendagri Gamawan Fauzi, prosedur pembubaran FPI cukup ribet. Sebab, yang bersangkutan ternyata sudah terdaftar sebagai Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).
Gamawan memaparkan, dalam pengganti Undang Undang Ormas Nomor 8 Tahun 1985, telah diatur bahwa ormas yang melakukan tindakan menganggu ketertiban umum, bisa ditindak. "Namun, mekanismenya panjang sekali dan itupun tergantung ruang lingkupnya, apakah nasional, provinsi, kabupaten atau kota," tegas Gamawan di Kantor Presiden, Kamis (25/7).
Gamawan melanjutkan, sesuai dengan pasal 60 sampai pasal 82 dalam Undang Undang tersebut, sanksi bagi ormas yang terbukti melakukan tindakan anarkistis, yang pertama adalah peringatan. Ada peringatan kedua dan ketiga, hingga tidak boleh beraktivitas untuk sementara waktu. Sesuai dengan ruang lingkupnya, maka yang berhak memberikan teguran adalah Bupati Kendal.
"Saya sudah ingatkan Bupati Kendal melalui Kesbangpol (Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik Kemendagri) supaya tegur karena ruang lingkupnya kabupaten. Ini ada waktunya paling lama 30 hari, kalau masih lagi, tegur lagi, yang ketiga baru lakukan penghentian sementara kegiatan di daerah. Nah itupun ada, kalau di daerah harus minta pendapat dulu dari DPRD, Kepolisian dan Kejaksaan," paparnya panjang lebar.
Berikutnya jika teguran tidak mempan, lanjut Gamawan, baru meningkat menjadi pembubaran. Pembubaran tersebut harus dilihat dari proses peradilan. Jika FPI berbadan hukum, maka diajukan terlebih dahulu oleh Kemenkum dan HAM kepada pengadilan negeri setempat. "Saya sudah tegur dua kali kan," lanjutnya.
Namun, Gamawan menegaskan, pembubaran FPI tidak bisa serta merta dilakukan. Jika memang tidak terbukti ada pelanggaran hukum, maka ormas yang bersangkutan tidak bisa dibubarkan. Dia juga mengkritisi pandangan pihak-pihak tertentu yang menilai bahwa Undang Undang Ormas tersebut represif.
"Ketika kita merumuskan UU, kita agak tegas dikit mengantisipasi kasus-kasus yang kita prediksi bisa terjadi seperti kasus sekarang, pemerintah disebut represif. Tetapi ketika ada peristiwa seperti ini pemerintah diminta membubarkan. Menurut saya ini tidak pas, karena itu saya jelaskan kemarin supaya menyikapi itu secara proporsional.