Mengamputasi Hak DPR Dianggap Lebih Kejam dari Orde Baru
jpnn.com - JAKARTA - Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI), Profesor Maswadi Rauf mengatakan dalam sebuah negara demokrasi, keberadaan DPR itu mutlak. Tidak ada demokrasi tanpa wakil rakyat yang duduk di DPR sebagai simbol perwakilan rakyat.
"Karena itu, DPR harus berperan besar melebihi eksekutif, karena DPR mengawasi eksekutif. Jadi DPR itu harus kuat dan mampu menandingi eksekutif dalam berbagai macam pekerjaan," kata Maswadi, di Gedung DPD, komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Rabu (19/11).
Maswadi mengatakan kalau ada pikiran atau alur untuk melemahkan DPR maka jelas bertentangan dengan keinginan rakyat. "Yang dituntut rakyat itu agar wakilnya di DPR berkualitas, itu bukan sok-sok-an, itu harus," tegasnya.
Melalui proses pemilihan umum legislatif lanjutnya, rakyat sudah memberikan amanat kepada wakilnya. "Tinggal bagaimana para anggota Dewan mengisinya. Kalau ada fraksi yang berniat memperlemah DPR, sudah celaka dia itu. Itu lebih parah dari Soeharto itu. Itu lebih parah dari Orde Baru," ungkapnya.
Demikian juga halnya, kalau ada niat untuk mengajukan amandemen lalu menghapus hak interpelasi, hak hangket dan hak menyatakan pendapat, Maswadi menyebutnya sebagai prilaku politik yang melebih Soeharto.
Maswadi mengakui, bahwa dalam kenyataannya memang ada sejumlah pasal dalam UU MD3 utamanya Pasal 74 dan 98 memang sangat menyulitkan pemerintah. "Tapi kesan saya, itu DPR ingin memperkuat perannya terhadap kesepakatan yang sudah disetujui antara DPR dengan pemerintah," ujarnya.
Selain itu kata Maswadi, memang ada sedikit kekeliruan dalam UU MD3 tersebut yakni DPR memaksakan kehendak kepada pemerintah untuk melaksanakan kesepakatan-kesepakatan. "Itu saja yang mestinya diperbaiki. Jangan malah menghapus hak-hak DPR yang diatur dalam Konstitusi," tegasnya. (fas/jpnn)