Mengapa Penggugat Hasil Pilpres Selalu Kalah di MK? Begini Penjelasan Titi Anggraini
jpnn.com, JAKARTA - Gugatan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) pemilihan presiden (pilpres) sudah seperti menjadi tradisi ketatanegaraan di Indonesia. Pasalnya, sejak pilpres digelar secara langsung pertama kali pada 2004, pasangan calon (paslon) yang tidak menang selalu menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hasilnya, tidak ada satu pun paslon yang menggugat menang di MK. MK justru mempertegas kemenangan paslon yang sudah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebelumnya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan keberadaan MK sebagai institusi hukum yang menyelesaikan PHPU dimulai sejak Pilpres 2004.
BACA JUGA: Viral Video Oknum BAIS TNI Diduga Provokasi Massa, Begini Penjelasan Kapuspen TNI
Pada waktu itu ada lima paslon berkompetisi. Pilpres dimenangkan Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla. Paslon yang kalah yakni Megawati Soekarnoputri – Hasyim Muzani, dan Wiranto – Solahudin Wahid menggugat ke MK. Pada 2009 ada tiga paslon. Lagi-lagi, Pilpres 2009 dimenangkan SBY, yang kali ini berpasangan dengan Boediono. Jusuf Kalla – Wiranto, Megawati Soekarnoputri – Prabowo Subianto juga menggugat ke MK.
Pada 2014 juga demikian. Prabowo – Hatta Rajasa yang kalah juga menggugat ke MK. Akhirnya MK menguatkan putusan KPU yang memenangkan Jokowi – Jusuf Kalla.
“Jadi, seolah-olah sudah menjadi tradisi pemilu ketatanegaraan kita untuk menempuh upaya konstitusional ke MK sebagai saluran keberatan hasil pemiu yang ditetapkan KPU,” kata Titi dalam diskusi MK Adalah Kunci di Jakarta Pusat, Sabtu (25/5).
Titi menegaskan, pemohon bukannya kalah tetapi selalu tidak berhasil membuktikan dalil-dalil yang diajukan di persidangan MK. Pada dasarnya, ujar Titi, PHPU adalah perselisihan yang memengaruhi hasil.
“Nah, kebanyakan dalam dalil disampaikan pemohon, ternyata yang menjadi keberatan itu bukan angka yang ditetapkan KPU, tetapi keberatan itu menyasar pihak terkait,” paparnya.