Mengenang Kudatuli, Pembuka Jalan Megawati ke Puncak Kekuasaan
Oleh: Andus Simbolon*jpnn.com - TEPAT pada tanggal 27 Juli, 20 tahun silam, sebuah catatan kelam mewarnai sejarah Indonesia. Hari itu, Sabtu, terjadi penyerbuan ke kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro 58, Menteng, Jakarta Pusat.
Peristiwa yang juga dikenal dengan sebutan Kudatuli (akronim dari kerusuhan 27 Juli) dan Sabtu Kelabu itu merupakan buntut konflik internal PDI. Tapi sudah 20 tahun berlalu, peristiwa itu tetap menyisakan kepedihan mendalam dan mencoreng praktik demokrasi yang harusnya selaras dengan Pancasila.
Waktu itu, penguasa Orde Baru telah bertindak diskriminatif atas permasalahan di internal PDI. Megawati Soekarnoputri yang kala itu ketua umum yang sah di PDI, dilengserkan lewat konspirasi politik .
Penyerbuan itu merupakan siasat penguasa untuk mengakhiri kepemimpinan Megawati yang naik menjadi ketua umum PDI dalam kongres luar biasa (KLB) di Surabaya, 1993.
Jika saja pemerintah bertindak sebagai pembina politik yang arif dan bijaksana, tentu demokrasi Pancasila yang kita junjung itu tidak akan ternoda dan noda hitam tidak akan mencoreng perjalanan bangsa ini. Bahkan, dunia internasonal mungkin tidak akan mengecam rezim Orde Baru karena bertindak represif pada pendukung Megawati.
Tapi jarum jam memang tak bisa diputar balik. Saat itu beberapa orang tewas dan mengalami luka-luka berat akibat penyerbuan di kantor DPP PDI. Pendukung Megawati di dalam kantor DPP PDIP yang diserbu justru ditangkap dan ditahan.
Komnas HAM pun berkesimpulan ada tragedi kemanusiaan dalam kejadian ini. Rekomendasi Komnas HAM yang kala itu dipimpin Baharuddin Lopa juga menyimpulkan adanya pelanggaran hak asasi manusia.
Kejadian itu bermula dari rencana kongres yang disampaikan pengurus DPP PDI kubu Fatimah Achmad. Tiba-tiba mereka mempersoalkan keabsahan Munas tahun 1993.