Menggugat Diskriminatif, Lewat Sekolah Inklusif
Minggu, 21 Oktober 2012 – 11:15 WIB
Menurut anak ketiga dari enam bersaudara hasil pernikahan pasangan suami-istri Deslan Efendi dan Mutia Nelni ini, dulunya dia terlahir sebagai anak normal. "Sampai kelas 6 sekolah dasar, saya masih bisa melihat dunia. Saya masih bisa menatap wajah ayah, ibu, kakak, adik dan teman-teman," ucap Ismail kepada Padang Ekspres (Group JPNN).
Hanya saja, saat akan menamatkan pendidikan di SD Negeri 14 Kecamatan IV Angkek, Ismail mengalami musibah yang membuat jalan hidupnya berobah. "Sebelum tamat SD, mata saya tiba-tiba alergi. Tidak lama kemudian, penglihatan saya samar-samar. Awalnya hanya mata sebelah kanan yang tidak bisa melihat. Namun kemudian, penglihatan di mata kiri juga sama-samar. Sekarang, saya sama sekali tidak bisa melihat dengan jelas wajah teman- teman, guru di sekolah, dan pengasuh di SLB Center," tuturnya.
Menurut Ismail, orangtuanya yang berprofesi sebagai pedagang pakaian di pasar konveksi Auakuniang, Kota Bukittinggi, sudah berusaha keras agar matanya kembali bisa melihat seperti sedia kala. "Sudah banyak tempat berobat saya datangi, mulai dari tenaga medis sampai orang pintar. Bahkan, saya juga sudah dibawa ayah dan ibu ke rumah sakit Malaka, Malaysia yang terkenal itu. Tapi, tetap saja mata saya tidak dapat disembuhkan. Kata dokter, ada gangguan hebat di syaraf mata saya" ujar Ismail dengan suara bergetar.