Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Menilik Kebijakan Utang

Oleh: MH Said Abdullah, Ketua Badan Anggaran DPR RI

Sabtu, 11 April 2020 – 20:10 WIB
Menilik Kebijakan Utang - JPNN.COM
Ketua Badan Anggaran DPR RI sekaligus Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Perekonomian, MH. Said Abdullah. Foto: Humas DPR RI

jpnn.com - Presiden Joko Widodo telah mengundangkan Perppu Nomor 1 tahun 2020, meskipun belum ada persetujuan DPR, peraturan itu tetap berlaku.

Makin kuat kedudukan hukumnya bila DPR memberikan persetujuan. Lain ceritanya bila DPR tidak menyetujui, maka otomatis peraturan tersebut tidak berlaku lagi.

Poin penting dalam Perppu Nomor 1 tahun 2020 yakni melebarkan defisit APBN lebih dari 3 persen Produk Domestik Bruto (PDB) hingga tahun 2022.

Semula, melalui Penjelasan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, ditentukan defisit APBN tidak melebihi 3 persen (PDB).

Pelebaran defisit APBN yang dibuat pemerintah sebagai jurus untuk mengatasi beberapa hal, di antaranya menurunnya penerimaan negara akibat kegiatan ekonomi global slowing down, dan kebutuhan belanja penanganan covid 19 dan dampak sosial ekonominya yang tinggi.

Menkeu telah menjelaskan dalam teleconference dengan Badan Anggaran DPR RI bahwa proyeksi defisit APBN 2020 sebesar 5,07 persen PDB atau setara Rp 853 triliun, dengan asumsi penerimaan negara turun dari semula di patok Rp 2.233,2 triliun menjadi Rp 1.760,9 triliun dan belanja negara semula Rp 2.540,4 triliun menjadi Rp 2.613,8 triliun.

Belanja negara makin membesar dari kondisi normal, sebab selain untuk mitigasi dan pembiayaan yang besar, skenario belanja pemeritah tersebut digunakan untuk menopang pertumbuhan ekonomi.

Pemerintah telah membuat skenario pertumbuhan PDB sebesar 2,3 persen pada tahun 2020. Belanja pemerintah sebesar Rp 2.613 triliun diharapkan menopang pertumbuhan PDB, dengan kontribusi 6,8 persen, dengan asumsi worst scenario pertumbuhan ekspor-impor minus hingga dua digit, ekspor minus 11,7 persen dan impor minus 13,7 persen.

Pengalaman berurusan dengan IMF menjadi pil pahit bagi Indonesia, harganya sangat mahal. Hingga kini kita masih mengangsur Surat Utang melalui BLBI sebesar Rp 70 triliun.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News