Menimbang Kisah Ubuntu untuk Rekonsiliasi Politik di Masa Lalu
Oleh: Agus Widjajanto - Praktisi Hukum dan Pengamat Pemerhati Sosial Budayajpnn.com - Seorang Antropolog menunjukkan permainan kepada anak-anak suku di Afrika. Dia meletakkan satu keranjang penuh buah di dekat pohon.
Selanjutnya, dia memberi petunjuk kepada anak-anak bahwa anak yang lari pertama kali mencapai pohon berhak mendapatkan sekeranjang buah tersebut.
Namun, begitu sang Antropolog memberi aba-aba: 'Mulai...!' Dia terkejut, karena anak-anak berjalan bergandengan tangan tanpa berebut saling mendahului.
Ketika Antropolog bertanya: 'Kenapa kalian melakukan itu? Padahal kalian punya kesempatan untuk mendapatkan sekeranjang buah seorang diri.
Mereka menjawab: 'Ubuntu! ... bagaimana salah satu dari kami bisa bahagia, sedangkan teman yang lain bersedih.'
Ubuntu dalam peradaban mereka artinya: 'Aku adalah kita.'
Suku itu memahami rahasia kebahagiaan sesungguhnya yang justru hilang atau 'dihilangkan' dalam kehidupan masyarakat modern yang sangat individualistis dan sangat egosentris.
Padahal mereka mengganggap dirinya sebagai masyarakat yang paling beradab. Itulah budaya Afrika Selatan yang dikumandangkan oleh Uskup Agung Desmon Tutu, yang sangat legendaris menginspirasi pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) di seluruh dunia.