Menteri Siti: Presiden Setuju Untuk Segera Mengatur Nilai Ekonomi Karbon
Kebijakan pengaturan NEK ini diusulkan Menteri Siti berbentuk Perpres yang memuat pengaturan penyelenggaraan NEK, termasuk mekanisme perdagangan karbon (cap and trade dan carbon offset), Result Based Payment (RBP) dan Pajak atas karbon, serta upaya pencapaian target NDC (Mitigasi dan adaptasi) yang terkait dengan penyelenggaraan nilai ekonomi karbon dan pembentukan Instrumen Pengendalian dan Pengawasan (MRV, SRN, Sertifikasi). Jika Perpres ini telah disetujui maka KLHK akan mampu menyusun roadmap ekonomi karbon untuk jangka panjang.
Sebagai gambaran, Menteri Siti menjelaskan jika saat ini luas tutupan hutan daratan Indonesia mencapai 94,1 juta ha, dengan luas tutupan dominan di Sumatera sebesar 13,5 juta ha, Kalimantan sebesar 26,7 juta ha, dan Papua sebesar 34 juta ha.
Kawasan hidrologis gambut Indonesia pun sangat luas, yaitu di Sumatera dan Riau seluas berturut-turut 9,60 juta ha dan 5,36 juta ha, di Kalimantan dan Kalteng berturut-turut seluas 8,40 juta ha dan 4,68 juta ha. Kemudian untuk mangrove, Indonesia pun punya potensi sangat besar, seperti di Sumatera luas mangrove 666,4 ribu ha, Kalimantan seluas 735,8 ribu ha, Jawa seluas 35,9 ribu ha, Sulawesi seluas 118,8 ribu ha, Maluku seluas 221,5 ribu ha, Papua seluas 1,49 juta ha dan Bali Nusa Tenggara seluas 34,7 ribu ha.
Dengan perhitungan rata-rata kandungan karbon dari hutan (dari aboveground biomass) sebesar 200 ton C/ha dan rata-rata kandungan karbon dari mangrove (termasuk soil karbon) adalah 1.082,6 ton C/ha, serta rata-rata karbon gambut 460 ton C/ ha, dan hutan gambut primer mencapai 1385,2 ton C/ha, maka jika hutan Indonesia ini dikelola dengan baik dan dicegah dari kerusakan akan didapat nilai ekonomi yang sangat besar.
"Dengan adanya landasan peraturan tentang NEK, potensi ini akan dihitung nilai ekonomi karbonnya," tuturnya.
Diakui Dunia
Sebagai perbandingan Menteri Siti menyebut jika keberhasilan Indonesia menekan laju deforestasi dan degradasi hutan tahun 2016/2017 di bawah komando pemerintahan Presiden Joko Widodo, telah diakui dunia menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Indonesia.
Atas keberhasilan tersebut Pemerintah Indonesia untuk pertama kalinya akan menerima pembayaran hasil kerja/RBP penurunan emisi GRK dari Norwegia sebesar proyeksi 56 juta US$ atau lebih dari 840 milyar rupiah, yang merupakan bagian dari komitmen kerja sama pendanaan iklim melalui komitmen nota kesepakatan (letter of intent/LOI) pada 2010.