Menyaksikan Serunya Perayaan 125 Tahun Orang Jawa di Suriname (2)
Nonton Lukisan, Disuguhi Tape Ketan dan â€Banyu Londoâ€Sambil menikmati suguhan peyek kacang, tape ketan, pisang goreng, lemper, dan Parbo Bier (bukan pabro bir seperti tertulis kemarin), banyu londo khas Suriname, para tamu dapat membayangkan ”mimpi” para pelukis saat menggoreskan cat minyaknya pada bidang gambar. Misalnya karya Soeki, sapaan Soekijan Irodikromo, yang paling menonjol di antara karya-karya pelukis lain.
Dalam pameran itu, pelukis 70 tahun tersebut membawa lima karyanya. Semuanya bertema tari. Ada tarian gebyar batik, asmoro, selendang, dan kerincing mas.
”Ini kegelisahan saya kepada anak-anak Jawa di Suriname yang mulai meninggalkan budaya tradisi nenek moyangnya,” ujar pelukis yang ngangsu kaweruh di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Jogjakarta (kini ISI) pada 1979–1980 itu.
Dia lalu menceritakan, semasa kecil di Desa Roos en Weerk, Commewijn, dirinya hanya mendengar alunan gamelan yang ditabuh bapak-ibunya. Tidak ada televisi dan produk kebudayaan Barat lainnya.
”Pokoke, saben-saben mung krungu suara gamelan. Ora ono liyan (Pokoknya, setiap saat hanya mendengar suara gamelan. Tidak ada yang lain),” tuturnya.
Selain dikenalkan dengan gamelan, tentu saja dia diajari melukis oleh orang tuanya. Sampai akhirnya bakat itu benar-benar tertanam dalam jiwanya dan menjadi sumber penghidupannya. ”Ya, aku hidup dari melukis, dari kesenian Jawa,” ujar Soeki, yang lukisan tarian kerincing masnya laku USD 2.900 (sekitar Rp 38,5 juta dengan kurs Rp 13.300 per dolar).
Menurut dia, pameran lukisan itu merupakan bentuk respek para seniman kepada leluhur yang telah melahirkan dan membawa mereka hingga negara yang kaya emas, bauksit, dan kayu itu. ”Kalau bukan kita yang respek, lalu siapa lagi? Wong para leluhur itu mbah-mbah kita sendiri,” tegas pelukis yang fasih berbahasa Indonesia itu.
”Ben wong Jowo ora lali karo leluhure dewe (Biar orang Jawa tidak lupa kepada nenek moyangnya),” tambah dia.