Menyinggahi Wae Rebo, Desa di NTT Peraih Penghargaan Tertinggi UNESCO (3-Habis)
Rumah Utama untuk Delapan Keluarga Keturunan MaroSelasa, 18 September 2012 – 00:08 WIB
Saat membangun itu, warga benar-benar mempraktikkan upacara yang sudah mereka pelajari dari para leluhur. Misalnya, saat mengangkat kayu untuk ngando atau tiang. Kayu tak boleh dipikul di pundak, tapi diangkat di samping badan. Sembari mengangkat kayu dari hutan menuju desa, warga harus bernyanyi, "Teti etan, teti etan, ne empo teti etan (Angkat ke atas, angkat ke atas wahai leluhur, angkat ke atas, Red). Teti etan, teti etan, pande geal (Angkat ke atas, angkat ke atas, bikin ringan, Red)."
Tipa-tiap mbaru niang dibangun lima tingkat. Yang paling dasar bernama lutur. Itu lantai untuk ditinggali. Yang tinggal di mbaru tembong ada delapan keluarga. Mereka adalah wakil dari delapan keturunan utama Maro. Sedangkan, rumah-rumah yang lain ditinggali enam keluarga. Mereka punya kamar berukuran sekitar 2 x 2 meter persegi di lantai pertama. Kamar-kamar itu menempel "dinding". Masing-masing tanpa pintu, hanya ditutup kelambu. Tiap keluarga berbeda warna kelambunya.
Lantai 2 hingga lantai 5 bernama lobo mehe, lentar, lemparae, dan hekang kode. Masing-masing untuk menyimpan hasil panen dan benih tanaman. Lalu, di tempat paling pucuk ada ruang bernama kilikiang untuk menaruh langkar atau peranti sesaji. Untuk menghubungkan ruang-ruang itu, ada bambu yang diikat pada tiang utama. Bambu tersebut diberi takik-takik untuk memanjat.