Merasa Kerja di Ruang Kaca
Rabu, 28 Desember 2011 – 18:33 WIB
Kami anak-anaknya untuk kasus-kasus tertentu diajak melihat proses sidang. Setelah saya dewasa saya baru sadar bahwa itu cara ayah menunjukan adanya ketidakadilan, yang legal belum tentu bermoral.
Selain orang tua, siapa guru politik Anda?
Persentuhan awal dengan dunia politik juga saya dapatkan sejak kecil dari karya sastra, lewat puisi-puisi yang ibu bacakan sebagai pengantar tidur, seperti karya Sitor Situmorang, Toto Sudarto Bachtiar dan lewat karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Sejak kelas 6 SD saya sudah membaca ‘Di Bawah Bendera Revolusi’ karya Bung Karno yang ada di perpustakaan pribadi ayah dan ibu. Ibu saya sampai akhir hayatnya adalah pekerja sosial yang sering mengajak saya mengunjungi mereka yang termarginalkan. Ingatan-ingatan terhadap peristiwa-peristiwa masa kecil itulah yang menuntun saya untuk mencintai dunia politik. Orang tua secara tidak langsung mengajarkan bahwa kerja politik adalah sebuah kerja nyata, bukan pencitraan politis.
Bisa cerita perjalanan karir politik Anda?
Setelah aktif di gerakan mahasiswa 97-98 saya memutuskan masuk partai politik pada tahun 1999. Saat itu saya memutuskan bergabung dengan PKB di bawah kepemimpinan Gus Dur. Saya memulainya dengan masuk sayap partai, satu-satunya perempuan, yang terlibat dalam pendirian Garda Bangsa, organisasi pemuda PKB.