Merasa Kerja di Ruang Kaca
Rabu, 28 Desember 2011 – 18:33 WIB
Karena kesadaran itulah dalam proses saya berkesenian selanjutnya, saya termasuk artis yang pilih-pilih peran. Kesadaran politik membantu saya menjadi pekerja seni, bukan sebagai obyek seni. Begitu pula dengan puisi-puisi yang saya tulis. Tuhan memertemukan saya dengan penyair Sitor Situmorang yang bersedia menjadi guru menulis puisi saya. Pak Sitor bersedia saya repotkan seminggu sekali di rumahnya. Beruntung sekali, karena lewat beliau saya tidak hanya belajar teknis penulisan, tapi juga substansi karya seni termasuk puisi yang politis.
Pesan Pak Sitor, “Jangan hanya menulis tentang hidupmu, menulislah tentang hidup orang lain dalam karyamu, sehingga mereka hidup dalam setiap kata yang kau tuliskan.”
Lewat Pak Sitor dan karya-karya Wiji Thukul saya belajar bagaimana seni bisa ‘bekerja’ untuk kepentingan orang banyak. Dan itulah kerja politik. Lewat puisinya, wiji Thukul, meski tak hadir secara fisik, namun bisa menggerakan ribuan mahasiswa untuk menggulingkan rezim Orde Baru. Dan saya ada pada masa itu, membacakan puisi-puisi Thukul di panggung-panggung demonstrasi. Tanpa merasa digurui, sebuah karya seni yang lahir dari empati dan hati mampu membuat sebuah perubahan. Itulah kenapa bagi saya politik butuh seni. Supaya tidak kasar, supaya tidak rakus, supaya tidak alpa terhadap amanat. Politik harus berempati dan dekat dengan kisah mereka yang papa yang tertindas yang didzolimi, agar kebijakan poltik yang dihasilkan jelas arah dan tujuannya untuk siapa.
Apa lagi yang Anda impikan sebagai wakil rakyat?