Meski di Ujung Tanduk, Dilma Rousseff Belum Menyerah
jpnn.com - DENGAN restu Kongres Nasional Brasil, rakyat mengimpeach presiden perempuan pertama di negara Amerika Latin, Dilma Rousseff.
Baru sekitar 18 bulan lalu, Rousseff memenangkan dukungan kira-kira 54,5 juta penduduk Brasil lewat pemilihan presiden (pilpres). Untuk kali kedua, dia kembali memangku jabatan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Tapi, kini, semuanya berbalik.
Kalau impeachment terhadap Rousseff lancar, tokoh keturunan Bulgaria itu harus meletakkan jabatannya. Bukan hanya itu, jika dia terbukti bersalah, konstitusi Brasil mengharamkannya duduk di kursi pemerintahan Brasil selama delapan tahun. Artinya, karier politik yang dia bangun sejak menjadi aktivis pada 1967 akan sia-sia. Lebih buruk lagi, dia bisa saja berakhir di penjara.
Kepemimpinan kedua Rousseff memang berhias skandal. Tidak hanya skandal politik, tapi juga ekonomi. Di antaranya adalah kerugian miliaran USD perusahaan minyak negara Petrobras. Semua itu, kabarnya, melibatkan politisi Partai Pekerja Brasil yang merupakan wadah politik Rousseff. Selain mengalir ke kantong pribadi para politisi, keuntungan Petrobras masuk ke rekening beberapa perusahaan swasta.
Aliran dana ilegal itulah yang membuat Petrobras rugi. Korupsi Petrobras itulah yang mencoreng reputasi Rousseff. Lawan politiknya langsung mengklaim presiden berambut pendek tersebut tidak becus menjalankan pemerintahan. Apalagi, belakangan diketahui bahwa seorang senator dari partai Rousseff mendalangi kaburnya seorang saksi kunci dalam skandal korupsi itu dari penjara.
Meski Brasil adalah negara yang akrab dengan korupsi, fakta-fakta tersebut menggerogoti wibawa Rousseff. Popularitas alumnus Federal University of Rio Grande do Sul itu pun langsung anjlok. Padahal, tidak ada indikasi yang mengarah pada keterlibatan Rousseff dalam skandal korupsi tersebut. Setidaknya, saat ini, seluruh investigasi yang sedang berlangsung tidak mengarah kepada ibu satu anak itu.
Kendati demikian, sebagai pemimpin tertinggi, Rousseff tetap harus mempertanggungjawabkan ulah para pejabat pemerintahannya. ’’Sebagai pemimpin, mungkin dia memang tidak korup. Tapi, dia juga tidak becus menangani perekonomian. Itulah yang membuat oposisi ngotot memakzulkannya,’’ terang Daniel Gallas, pengamat politik Brasil yang juga koresponden BBC di Kota Sao Paulo.
Tapi, kondisi buruk tersebut tidak membuat Iron Lady Brasil itu menyerah. ’’Saya sudah melewati banyak kesulitan dalam hidup. Bahkan, saya menjadi target serangan fisik yang membuat saya cacat. Semua itu tidak membuat saya menyerah,’’ tegasnya. Bahkan, opsi masuk penjara tidak membuatnya gentar. Sebab, dia pernah mendekam di balik jeruji besi selama sekitar tiga tahun saat memperjuangkan idealisme politiknya pada 1967 lalu.