Meski Pilpres Beroma Curang, Tanpa Bukti Tak Bisa Ditindak
jpnn.com - JAKARTA - Pengamat Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syarif Hidayat mengingatkan bahwa dalam pilpres hanya akan ada satu pemenang dan yang lainnya kalah. Pihak yang tidak puas terhadap kekalahan bisa membawanya ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Di negara majupun, konstituen dari yang kalah akan merasa keputusan tidak adil. Oleh karena itu esensi dari demokrasi adalah siap menang dan siap kalah. Jadi bukan hanya kontestannya tapi juga konstituennya. Untuk pihak yang kalah pilihannya hanya dua, pertama mendukung yang menang, atau oposisi," kata Syarif Hidayat, kepada wartawan, Senin (11/8).
Oleh karena itu lanjutnya, terhadap perkara Pilpres dibutuhkan kenetralan sikap MK yang dalam putusannya harus menegakkan konstitusi. Ketentuan konstitusi, pihak pemohon harus bisa membuktikan secara real atau nyata tuduhan-tuduhan mereka dan bukan berdasarkan asumsi-asumsi saja. Kalau pemohon benar-benar bisa membuktikan, tentu MK harus bisa memutuskan berdasarkan fakta. "Begitu pula sebaliknya, jika tidak ada bukti yang nyata, maka MK harus berani pula menolak gugatan tersebut," jelasnya.
Menyikapi kesan KPU yang selalu mendapatkan toleransi atas ketidakberesan pelaksanaan pemilu, Syarif menjelaskan bahwa pandangan seperti itu sah-sah saja. Tapi ingat, bahwa dalam keputusannya, lembaga peradilan harus memutuskan berdasar fakta dan saksi. Berbagai isu kecurangan, penggelembungan suara, politik uang bukan isu baru karena dalam sengketa pemilu hal itu selalu muncul.
"Masalahnya adalah bukti atau fakta dan kesaksian. Jadi meski tercium baunya, tapi kalau tidak bisa dibuktikan secara real siapa pelakukanya, maka lembaga pengadilan sebagai lembaga hukum tentu tidak bisa memutuskan berdasarkan asumsi saja. Ini yang jadi masalah karena tidak ada pembuktian sehingga seringkali penyelenggara pemilu seperti diberikan toleransi. Hukum harus dijalankan berdasarkan bukti," pungkasnya. (fas/jpnn)