Muhammad Adi Panuntun, Juara Dunia Video Mapping
Usai Robohkan Museum dan Bakar Gedung, Incar Istana NegaraVideo mapping butuh kejelian tingkat tinggi. Karena itu, untuk pertunjukan yang hanya berdurasi 10–12 menit, dibutuhkan waktu tidak kurang dari dua bulan untuk mengerjakannya. Seniman yang terlibat pun mencapai 20-an orang, mulai ahli video, audio, pencahayaan, hingga tenaga lapangan. Peralatan yang dibutuhkan juga kelas berat, antara lain 4–6 proyektor beresolusi tinggi dengan kekuatan cahaya sekitar 16.000 lumen. Berapa biayanya? ”Antara Rp 200 juta–Rp 300 juta, bergantung kapasitas sponsor,” ucapnya, lantas tertawa.
Atun adalah tipe seniman modern yang juga entrepreneur muda andal. Selain menjalankan PT Sembilan Matahari yang bergerak di bidang jasa kreasi multimedia dengan 40-an karyawan, dia gemar berbagi ilmu, termasuk menjadi dosen di Universitas Bina Nusantara (Binus). Ruang kerjanya yang berukuran sekitar 4 x 3 meter penuh dengan buku-buku yang tertata rapi di raknya serta belasan piala dan penghargaan yang diraih.
Atun tidak hanya fasih berbicara tentang teknologi multimedia, namun juga filosofi budaya visual yang sudah ratusan tahun mengakar di Indonesia. Misalnya relief Candi Borobudur yang merupakan bentuk mahakarya komunikasi visual yang begitu canggih. ”Relief Borobudur adalah jalinan cerita jika dilihat dengan pradaksina, yaitu dengan berjalan dari lantai dasar dengan berputar searah jarum jam, lalu naik ke atas. Jadi, objeknya berhenti dan kita yang bergerak. Sedangkan dalam seni visual modern, penontonnya berhenti, tapi objek visualnya yang bergerak,” urainya.
Karena itu, karya-karya video mapping Atun pun sangat kaya dengan pesan moral. Misalnya, saat ”merobohkan” Museum Fatahillah, Atun ingin menyampaikan pesan bahwa jika tidak dilestarikan, bangunan-bangunan bersejarah di Indonesia akan hancur. Demikian pula saat dia ”membakar” Gedung Sate, kantor gubernur Jawa Barat, untuk menggelorakan semangat Bandung Lautan Api.
Demikian pula ketika dia meraih gelar juara dunia kompetisi video mapping di ajang Moscow International Festival Circle of Light 2014 pada 14 Oktober lalu. Dalam festival yang disaksikan lebih dari 700 ribu penonton itu, Atun menyuarakan pentingnya persahabatan antarbangsa untuk dunia yang lebih baik.
Pesan itu divisualisasikan melalui boneka-boneka khas Rusia yang didandani dengan baju adat suku-suku di Indonesia. Pesan yang kuat dan detail visual yang aduhai itulah yang membuat Atun mampu mengalahkan puluhan peserta lain dari 28 negara serta mengantongi hadiah senilai Rp 320 juta. ”Kami bangga karena kontes ini diikuti oleh seniman-seniman video mapping terbaik di dunia. Artinya, kreativitas Indonesia diakui di level dunia,” katanya.
Rupanya bukan kali itu saja suami Debbie Rivinandya tersebut menjuarai ajang bergengsi. Pada 2012, dia juga berhasil menyabet grand prize juara I kompetisi video mapping dalam Zushi Media Art Festival di Kanagawa, Jepang. Karya-karyanya juga sudah dipertontonkan di berbagai negara lain seperti Taiwan, Arab Saudi, hingga Swiss.
Portofolio klien Atun pun sudah bejibun; mulai institusi internasional seperti United Nation Development Program (UNDP) dan WWF; perusahaan multinasional seperti Boeing, Blackberry, dan Shell; hingga perusahaan nasional seperti Astra International, Sampoerna, Ciputra, BNI, Mazda Indonesia, Indonesia Power, Metro TV, serta SCTV.