MUI Bantah Dagang Sertifikasi Halah
Buktinya, dalam survei itu disebutkan bahwa 10 persen masyarakat mengaku pernah menyuap Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Dimana, sebanyak 10 persen responden menilai suap itu terjadi saat pengurusan sertifikat halal. Sehingga, TII menilai prilaku suap tersebut justru datang dari pejabat publik itu.
Sementara itu, Ketua MUI Amidhan saat dikonfirmasi JPNN di kantornya Kamis (22/1) dengan tegas membantahnya. ''Tidak benar, itu semata-mata fitnah saja,'' katanya.
Dalam pengurusan sertifikat halal, kata Amidhan, harus mengikuti sejumlah prosedur.
Dimana, para produsen, terlebih dahulu harus menjalani sejumlah pemeriksaan barang secara langsung.
Setelah itu, lanjut dia, baru dibuatkan sertifikasi halal atau haram.
Namun, untuk mengikuti prosedur itu, tentunya setiap produsen harus membayar antara Rp200 ribu hingga Rp5 juta. Memang diakui, harga itu tentunya tergantung dari jenis industrinya. Artinya, jika industrinya besar tentu harus mengeluarkan biaya besar, begitu pula sebaliknya. Dan uang yang disetorkan itu kemudian dimasukkan ke rekening yang dikelola MUI. Dan uang tersebut nantinya akan dipergunakan untuk membayar proses pemeriksaan suatu barang.
"Karena kami pinjam laboratorium IPB untuk mengetes suatu barang, jadi tidak ada salahnya kami minta para produsen untuk mengeluarkan uang. Toh uang itu kan untuk membayar biaya sewa laboratorium tersebut,'' ungkapnya.
Ditegaskannya, MUI tidak mungkin memainkan sertifikasi halal atau haram. Dan pihaknya sebagai salah satu lembaga Islam di negara ini, tidak akan mungkin untuk melakukan praktik penipuan, barang yang haram disebut halal. ''Kami tak mau menipu agama, kami tak mau berdosa dan membuat seluruh umat berdosa," tegasnya.