Mulai Hari Ini, Dolly Tinggal Memori
Setelah 40 Tahun Mewarnai Wajah SurabayaLiputan investigatif Jawa Pos pada akhir 2004 menyebutkan bahwa uang yang berputar di sana mencapai Rp 5 miliar sehari dan ada sekitar 15 ribu orang yang menggantungkan hidupnya di sana. Mulai sopir taksi, penjual makanan, hingga warga yang menyewakan lahan parkir. Bahkan, sebagian aliran uang panas tersebut jatuh ke aparat. Mulai RT, RW, satpol PP, polisi, hingga tentara.
Penelusuran Jawa Pos sepuluh tahun lalu juga mengungkapkan bahwa dari 56 wisma besar di Dolly saja, terkumpul uang kontrol Rp 7,5 juta per hari. Per bulan mencapai Rp 420 juta. Itu dengan asumsi tamu yang datang setiap hari sekitar 1.500 orang.
Kini sepuluh tahun berlalu. Dolly sudah tidak segemerlap dan sehiruk-pikuk dulu lagi. Bahkan, nanti malam penutupannya dideklarasikan di Islamic Center, Dukuh Kupang, sekitar 3 kilometer dari gang legendaris itu.
Ada yang merayakan berakhirnya pusat prostitusi yang dianggap “jerawat” bagi wajah bersih dan hijau Surabaya di bawah kepemimpinan Tri Rismaharani itu. Namun, tidak boleh juga diabaikan mereka yang sedih dan bingung karena kehilangan sumber penghidupan, harapan, dan bisa jadi kenangan.
Dolly memang akan abadi di memori. Puluhan wisma boleh ditutup dan berganti fungsi. Para penghuninya: para PSK, penjual minuman, tukang parkir, hingga tukang cuci bisa pindah dan semoga mendapat pekerjaan lebih baik, namun Dolly tetap Dolly.
Ceritanya tidak pernah bisa terhapus dan ikut membentuk sejarah Surabaya, kota metropolitan yang warganya pantang menyerah untuk mendapat tempat lebih baik bagi siapa saja. (shy/dor/las/yoc/ano/c6/kim)