NCBI: Perlu Sinergisitas untuk Mengatasi Difisit Pembangunan Karakter Bangsa
jpnn.com, JAKARTA - Salah satu masalah pokok yang dihadapi bangsa Indonesia adalah defisit pembangunan karakter bangsa (nation and character building). Defisit karakter ini disebabkan oleh ketidakmampuan bangsa dan negara dalam melakukan transformasi nilai-nilai Pancasila, baik sebagai etika publik (individu) maupun sistem negara.
Hal tersebut disampaikan Direktur Ideologi dan Politik Nation and Character Building Institute (NCBI) Adi Kurniawan dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat (4/10).
Untuk merespon situasi tersebut, menurut Adi, Presiden Jokowi menerbitkan Perpres Nomor 54 Tahun 2017 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKPPIP), dan kemudian diubah menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) melalui Perpres Nomor 7 Tahun 2018.
Menurut Adi, salah satu cendekiawan yang konsen terhadap pemikiran Pancasila, dan mantan kepala BPIP Yudi Latif, menegaskan 5 (lima) isu utama dalam pembudayaan Pancasila. Pertama, penguatan pemahaman Pancasila sebagai jalan mengatasi defisit pengetahuan dan pemahaman nilai-nilai Pancasila baik melalui pembelajaran wawasan dasar Pancasila pada pendidikan formal jenjang Taman Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT), maupun informal melalui berbagai diklat, seminar, dan forum lainnya.
Kedua, pelembagaan Pancasila sebagai strategi institusional dengan menjadikan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, dan sistem tata negara. Artinya, Pancasila menjadi sistem bernegara yang utuh, menjadi jiwa dan semangat dalam memutuskan setiap kebijakan negara.
Ketiga, keteladanan Pancasila yang merupakan strategi membangun kesadaran para elit politik dan birokrasi, tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk memberikan contoh kebajikan Pancasila di ruang publik, serta memberi inspirasi bagaimana menjadikan Pancasila sebagai laku hidup sehari-hari. Keempat, inklusi sosial merupakan strategi untuk menciptakan pembauran, kehidupan yang penuh welas asih, saling berbagi dan melayani yang melampaui segala lintas batas perbedaan.
Kelima, keadilan sosial sebagai suatu realitas kehidupan yang jujur dan setara yang dalam perwujudannya ditandai dengan berkurangnya kesenjangan sosial, serta dicapai melalui kehidupan gotong royong, ekonomi kewargaan, serta menempatkan keseimbangan peran antara individualitas dan kolektivitas dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) maupun manusia (SDM).
“Dalam praktiknya jelas dibutuhkan sinergisitas antar elompok kekuatan untuk memastikan kelima isu di atas dapat terlaksana dengan baik, yakni antara pemerintah, masyarakat sipil, pelaku bisnis, media masa, cendekiawan dan akademisi,” kata Adi.