Otonomi Khusus dan Nasib Orang Asli Papua
jpnn.com - Oleh Hironimus Hilapok
Direktur Papua Circle Institute
Tanah Papua, menurut (alm) Frangky Sahilatua dalam syair lagunya dikatakan bahwa Tanah Papua, Tanah yang kaya, Surga Kecil jatuh ke bumi.
“Surga kecil jatuh ke bumi”, sebuah kalimat yang mengantarkan pikiran pendengar bahwa di sana orang tidak perlu bersusah payah. Segala sesuatu sudah disediakan oleh pencipta-Nya. Apapun yang kita butuhkan tinggal kita nikmati, tidak ada air mata dan keringat. Tetapi, sayang pada kenyataannya jauh dari yang digambarkan di atas.
Sebab kebijakan yang diterapkan di Papua penuh dengan pro dan kontra; katakanlah dari proses Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang terjadi tahun 1969 sampai dengan pemberlakuan otonomi khusus bagi provinsi Papua (termasuk Provinsi Papua Barat) yang terjadi pada tahun 2001 melalui Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001.
Sebagian orang bependapat bahwa PEPERA tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kesepakatan internasional; tidak terjadi secara demokratis dimana 1025 orang mewakli kurang lebih 800.000 orang pada saat itu (bukan one man one vote). Sedangkan ada juga yang berpendapat bahwa secara de facto PEPERA adalah sah karena sudah menjadi putusan dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Sedangkan untuk penerapan otonomi khusus ada yang berpendapat bahwa otonomi khusus bukan aspirasi orang Papua, otonomi khusus adalah ‘gula-gula politik’ dari pemerintah untuk meredam isu Papua Merdeka. Sementara itu, sebagian lagi berpendapat bahwa otonomi khusus adalah sebuah solusi untuk pembangunan yang lebih bermartabat dan berkeadilan. Apapun pendapatnya, yang terpenting adalah bahwa kepentingan masyarakat harus menjadi yang pertama. Masyarakat harus menjadi subjek dalam pembangunan, masyarakat harus berpartisipasi langsung dalam proses pembangunan itu sendiri.
Pada tahun 2017 ini tepatnya tanggal 21 November adalah 16 tahun pemberlakuan otonomi khusus di Papua. Pembangunan dalam rangka otonomi khusus diarahkan untuk memfokuskan pembangunan pada empat aspek utama yaitu aspek pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan dan infrastrukstur. Dengan demikian penitikberatan pembangunan otonomi khusus itu ada di tingkat Kabupaten/kota sedangkan tingkat provinsi mengatur regulasinya. Walaupun sudah mencapai usia 16 tahun tetapi, pembangunan melalui otonomi khusus setidaknya belum menunjukkan hasil yang maksimal, semua pihak baik pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten/kota masih sibuk dengan hal-hal yang sifatnya politik.
Dengan usia otonomi khusus yang kurang lebih tinggal 9 tahun dari rencana 25 tahun, orang Papua diperhadapkan pada pilihan apakah paskah otonomi khusus “orang Papua menjadi tuan di negerinya sendiri” ataukah “orang Papua akan menjadi tamu di negerinya sendiri? Menjadi pertanyaan refleksi kita bersama, jika kita tidak ingin meninggalkan cerita pada anak-cucu kita bahwa di tanah ini pernah hidup orang berkulit hitam dan berambut keriting.