OzAsia Festival 2015: Melihat Indonesia yang Bukan Cuma Bali
Shane Reeves (kiri) dan temannya.
"Perbedaan besarnya, orang-orang biasa di Australia punya uang lebih banyak dibanding dengan orang-orang biasa di Indonesia. Di Indonesia, orang-orang harus berjuang sangat keras untuk hidup. Saya merasa beruntung hidup di Australia. Saya ingin ke Indonesia suatu hari nanti," tutur Shane.
Di bidang sendratari dan wayang kulit, ada kisah klasik Ramayana yang dibawakan oleh kelompok gamelan Jawa, Sekar Laras, kelompok gamelan di Flinders University yang anggotanya separuh orang Australia pimpinan Guy Tunstill, warga Australia yang fasih bahasa Indonesia. Kisah Shinta yang diculik Rahwana di Alengka diangkat dalam judul "Sacred Sita".
Sendratari ini disutradarai Anon Suneko, pengajar gamelan dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Menurut Anon, naskah dan notasi sudah dikirimkan 3-4 bulan lalu dari Indonesia, namun baru berlatih bersama 2 pekan terakhir.
"Kita ingin populerkan sendratari Ramayana, bisa diolah seperti yang kita mau. kami hanya punya waktu 2 minggu kurang berlatih bersama, sebelumnya belum pernah bertatap muka," tutur Anon di sela gladi resik pada Rabu lalu.
Tak sia-sia, sekitar 100 orang Adelaide terpesona akan penampilan kisah "Sacred Sita" yang ditampilkan dengan wayang dan ditarik ke dunia nyata dengan gerak tari gemulai oleh penari Asteria Retno Swastiastuti yang berperan sebagai Sita atau Shinta pada Kamis (24/9) lalu.
Penampilan paling menghipnotis adalah dari Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara yang menampilkan 6 anak muda dari pelosok desa Jailolo untuk menampilkan tarian kontemporer dengan gerakan dan musik rancak nan ritmis dengan judul "Cry Jailolo". Tarian yang dikoreograferi mantan dancer artis dunia Madonna, Eko Supriyanto, ini terinspirasi dari tari daerah Maluku, Soya-soya dan Legu-legu.