Pak Ahok, Woles Aja Lah Hadapi Verifikasi Faktual
jpnn.com - JAKARTA - Direktur 7 (Seven) Strategic Studies Guevara Santayana mengatakan, pengalaman Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu mengajarkan, syarat dukungan calon perseorangan berupa fotokopiKartu Tanda Penduduk (KTP) kerap diperjualbelikan oleh para oknum yang tidak bertanggung jawab.
Baik itu berupa KTP fiktif, ganda, mencatut KTP milik orang lain dengan berbagai cara dan sejumlah tindakan penyelewengan lain yang dilakukan oleh oknum-oknum calo KTP untuk memperkuat dukungan pada pasangan bakal calon tertentu.
Karena itu pada pilkada 2017 ini, hal-hal tersebut perlu diantisipasi. Apalagi fotocopy KTP seseorang saat cukup mudah dimanipulasi. Karena banyak urusan mewajibkan masyarakat mencantumkannya. Mulai dari mengurus kredit barang, melamar pekerjaan, serta mengurus berkas-berkas lain. Sehingga tidak tertutup kemungkinan manipulasi syarat dukungan calon perseorangan juga terjadi di Pilkada DKI Jakarta 2017.
"Jadi saya menilai, langkah DPR dan pemerintah merampungkan dan mensahkan syarat dukungan calon perseorangan, sudah merupakan langkah yang tepat. Di mana mensyaratkan dukungan calon perseorangan yang harus di verifikasi faktual secara ketat dengan model sensus," ujar Guevara, Minggu (12/6).
Menurut Guevara, dengan metode sensus maka dukungan dapat benar-benar dipastikan valid. Karena petugas langsung mendatangi alamat-alamat masyarakat yang disebut memberi dukungan pada pasangan bakal calon tertentu.
"Jika dukungan fiktif, penuh manipulasi atau palsu, sesuai UU Pilkada akan dikenakan sanksi pidana. Dengan ancaman penjara paling singkat 12 bulan dan paling lama 36 bulan. Serta denda Rp 12-36 Juta," ujarnya.
Guevara menilai, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan para pendukungnya juga tidak perlu khawatir dengan syarat hanya diberi waktu tiga hari menghadirkan pemberi dukungan ke kantor panitia pemungutan suara (PPS), ketika tidak dapat ditemui verifikator ke kediamannya.
Karena atas aturan yang dimuat dalam Pasal 48 undang-undang baru hasil revisi UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota tersebut, mereka dapat mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).