Pamit Pergi ke Sekolah, Pulang Bawa Ikan Tangkapan
Selain dimandikan air laut, lanjut Suhaele, ari-ari si bayi harus dilarung ke laut. Mereka menyebutnya ’’kutta’’. Mereka percaya, jika sakit, si anak pasti diganggu ’’kutta’’-nya. Karena itu, untuk mengobati anak yang sakit tak sembuh-sembuh, orang tuanya harus melarung sesaji ke laut.
’’Itu tradisi turun-temurun di Bajo. Kami memercayainya,’’ kata dia.
Persoalan suku Bajo tidak hanya menyangkut pendidikan yang rendah. Masalah kesehatan juga memprihatinkan. Mereka masih memercayai ritual penyembuhan adat Bajo ketimbang pengobatan secara medis.
’’Mungkin karena latar pendidikannya rendah sehingga mereka lebih percaya pengobatan secara tradisional,’’ ujarnya.
Secara ekonomi, kata Suhaele, sebenarnya masyarakat Bajo tidak kekurangan. Dari berjualan ikan, para nelayan bisa memperoleh penghasilan sampai Rp 100 ribu per hari. Namun, karena pengelolaan uang yang buruk, kehidupan suku Bajo terlihat kekurangan.
’’Kalau dapat uang, langsung dihabiskan saat itu juga. Untuk beli ini dan itu. Kadang-kadang barang yang tidak perlu. Tidak ada yang mau menabung,’’ tutur Suhaele.
Namun, kebiasaan tersebut lambat laun mulai berubah. Terutama bagi orang tua yang anak-anaknya belajar di sekolah formal. Mereka akan menyisihkan sedikit penghasilannya untuk biaya sekolah anaknya, termasuk untuk membeli buku dan sepatu.
’’Mungkin memang harus perlahan-lahan untuk menyadarkan warga di sini. Saya yakin pasti bisa. Buktinya, sekarang sudah ada lima anak Bajo yang jadi sarjana,’’ tandasnya. (*/c10/ari)