Para Pangeran
Oleh: Dhimam Abror DjuraidSejarah menunjukkan bahwa cengkeh adalah komoditi yang sangat berharga dan diburu oleh konsumen Eropa. Pedagang-pedang dari seluruh Eropa datang ke Indonesia untuk memburu cengkeh. Orang Eropa menyebutnya sebagai ‘’emas cokelat’’, saking mahalnya.
Pada masa kejayaan, satu kilogram cengkeh berharga sama dengan tujuh gram emas. Cengkeh menjadi bahan penting bagi rokok kretek yang sangat khas Indonesia. Karena harga cengkeh yang selalu tinggi, banyak petani cengkeh hidup makmur.
Pada 1970-an para petani cengkeh di sekitar Manado, Sulawesi Utara, menikmati kemakmuran yang tinggi. Dengan menjual 250 kilogram cengkeh petani sudah bisa membeli mobil sedan.
Namun, begitu harga cengkeh dihancurkan oleh monopoli Orde Baru para petani cengkeh tidak bisa lagi membeli sedan, dan hanya bisa bersedu sedan.
Tommy membeli cengkeh dari petani dengan harga semurah-murahnya, dan menjual ke pabrik rokok dengan harga semahal-mahalnya. Sebelum ada BPPC, harga terendah cengkeh adalah Rp 20 ribu per kilogram. Setelah ada lembaga ini, harga cengkeh turun drastis hingga Rp 2 ribu per kilogram. Cengkeh yang tadinya emas seketika menjadi rongsokan yang tak berharga.
Kejayaan petani cengkeh mulai kacau setelah anak-anak Presiden Soeharto mulai beranjak dewasa dan mulai ikut berbisnis. Tiga anak tertua Keluarga Cendana terjun ke dunia bisnis. Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, dan Bambang Trihatmodjo berlomba-lomba terjun ke dunia bisnis.
Tommy, si bungsu laki-laki, tidak mau kalah dari kakak-kakaknya. Dalam usianya yang masih 30-an tahun Tommy sudah menjadi pengusaha kelas konglomerat. Ia mendirikan grup bisnis Humpuss yang menjadi payung konglomerasi yang menggurita ke mana-mana.
Di awal masa-masa kekuasaanya, Soeharto masih relatif bersih dari korupsi. Namun, sejak anak-anaknya beranjak dewasa dan terjun ke dunia binsis, terjadilah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang meluas.