Para Pasien Wajib Berkomitmen Ikut Olimpiade
Minggu, 25 Desember 2011 – 08:18 WIB
jpnn.com - Para pasien di puskesmas Siti Fauzanah juga datang dari Jakarta, Jawa Timur, dan bahkan Jambi. Di puskesmas itu juga diperkenalkan istilah ’’jamkesmas’’ bagi mereka yang tidak mampu.
--------------------------
M. Hilmi Setiawan, Jakarta
-------------------------
ADA cara mudah bagi Siti Fauzanah untuk membangkitkan motivasi anak-anak yang tengah ’’dirawat’’ di Puskesmas Matematika yang didirikannya di kediaman pribadinya, Kampung Ngempo Lor, Kelurahan Parakan, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Yakni, dengan memberikan contoh pengemis atau tukang sapu jalanan yang kebetulan melintas di depan rumah.
’’Coba kamu tanya, mereka pasti tidak sekolah. Dan, yang paling penting di sekolah adalah bisa matematika. Dengan matematika, hidup kalian akan selamat,’’ tutur Fauzanah kepada anak-anak yang dia rawat.
Tak memerlukan waktu lama, begitu selesai mendengar wejangan tadi, anak-anak itu pun bergegas masuk rumah Fauzanah. ’’Mereka langsung membuka buku matematika kembali dan belajar menghitung,’’ ujar perempuan kelahiran 14 Mei 1947 itu sembari tersenyum ketika ditemui Jawa Pos di Jakarta beberapa hari lalu.
Itulah salah satu metode yang membuat puskesmas yang didirikan pensiunan guru matematika di SMPN 1 Parakan, Temanggung, pada 1974 tersebut diminati para orang tua yang anaknya mengalami kesulitan belajar matematika. ’’Pasien” semakin ramai berdatangan, terutama sejak 1983.
Tentu, secara fisik, jangan membayangkan puskesmas ala perempuan yang rambutnya sudah memutih itu sebagaimana pusat kesehatan masyarakat pada umumnya. Lokasinya hanya di ruang tamu. Kalau pasiennya sedang banyak, mereka juga ditempatkan di teras, bahkan di dapur rumah Fauzanah yang berdinding papan itu.
Para pasien tersebut kebanyakan adalah murid-murid setingkat SMP di daerah Parakan. Termasuk, tentunya, murid-murid Fauzanah di SMPN 1 Parakan. Meskipun sudah resmi pensiun pada 1 Januari 2007, Bu Yan –sapaan akrab Fauzanah– masih diminta untuk mengajar di SMPN 1 Parakan.
Sebagaimana pernah dilansir Radar Semarang (Jawa Pos Group), di ruang tamu rumah Bu Yan disediakan meja panjang untuk tempat belajar para pasien. Sebagaimana juga halnya dengan layanan di puskesmas atau rumah sakit, perempuan sepuh yang masih energetik itu biasanya mengelompokkan para pasiennya itu menjadi dua, yaitu pasien rawat jalan dan pasien rawat inap. Yang disebut pasien rawat jalan adalah mereka yang datang hanya beberapa jam seperti mengikuti pelajaran tambahan (les).
Untuk pasien rawat jalan, mereka disediakan waktu mulai pukul 14.00 hingga pukul 20.00. Rentang waktu itu dibagi tiga sif. Giliran pertama pukul 14.00–16.00, sif kedua pukul 16.00–18.00, dan sif ketiga pukul 18.00–20.00.
Sedangkan mereka yang sakitnya ’’parah’’ alias sulit sekali memahami matematika masuk kategori pasien rawat inap. ’’Mereka menginap sampai benar-benar paham dengan matematika. Mereka rata-rata menginap dua hari. Namun, ada juga yang menginap sampai tujuh hari. Bergantung pula kepada izin yang diberikan orang tuanya,’’ kata Bu Yan kepada Abaz Zahroetin dari Radar Semarang di awal tahun ini.
Tidak seperti di sekolah, lewat puskesmas tersebut, Fauzanah bisa mendeteksi secara lebih intens dan personal ’’penyakit’’ matematika yang dialami tiap-tiap pasien. Di sekolah, sekalipun sudah menerapkan metode ulangan, tetap saja murid-murid bisa mengakali dengan cara menyontek.
Dengan model seperti bimbingan belajar di puskesmasnya, Fauzanah bisa berjam-jam duduk di hadapan seorang pasiennya hanya untuk mengajari penjumlahan, pengurahan, pembagian, dan perkalian.
Perempuan 63 tahun itu menegaskan tak ada dokter di puskemasnya, hanya mantri. Itu pun cuma satu. ’’Mantrinya ya saya ini,’’’ ucap Fauzanah, lantas tertawa.
Itu menunjukkan kedekatan Bu Yan dengan para murid alias pasien. Buntutnya, sudah ratusan pasien yang sembuh dari berbagai penyakit matematika. Dalam pengertian, mereka tak lagi menganggap matematika sebagai pelajaran yang menakutkan.
Bahkan, tak sedikit pasien Puskesmas Matematika yang menorehkan prestasi. Termasuk di berbagai ajang olimpiade matematika. Kebetulan, Fauzanah selalu menanamkan komitmen kepada para pasien yang dia rawat berupa kewajiban ikut olimpiade matematika. Mulai tingkat kabupaten, provinsi, hingga nasional. Bahkan, kalau perlu, ikut olimpiade matematika mancanegara. ’’Menang atau kalah, itu urusan nanti,’’ tandasnya.
Fauzanah menceritakan, Puskesmas Matematika berdiri pada 1974. Pencapaian setinggi itu tak pernah terbayangkan di benak Fauzanah saat baru memulai puskesmas tersebut. Sebab, awalnya puskesmas itu hanya untuk lingkungan keluarga Fauzanah sendiri.
Ketika itu, dia menjadi orang tua asuh lebih dari 20 anak. Nah, kenang Fauzahan, saat itu banyak anak asuhnya yang tidak mudeng (mengerti) urusan berhitung. ’’Padahal, saya sendiri yang mengajar mereka,’’ kata dia.
Di sekolah, dia juga menjumpai hal yang sama. Baginya, adalah sebuah bencana besar ketika ada anak yang belum paham satu materi, kemudian ditambah materi baru keesokan harinya di sekolah.
Dia menyebut anak-anak seperti itu sudah dalam kondisi ’’sakit’’. Dari situlah muncul ide untuk menyembuhkan anak-anak tersebut melalui sebuah puskesmas khusus matematika.
Pada intinya, kata Fauzanah, guru matematika memang harus telaten. Meskipun, itu tidak berarti mereka tak boleh marah. Fauzanah mengakui, dirinya sering memarahi anak-anaknya yang kurang cepat menyerap materi. ’’Tetapi, marahnya tidak boleh keterlaluan dan setelah itu harus membuat siswa tertawa,’’ kata dia.
Dari sekadar lingkungan keluarga, model mengajar Fauzanah yang diterapkan di Puskesmas Matematika tersebut akhirnya mulai terdengar luas. Buntutnya, banyak wali murid dari luar Kabupaten Temanggung yang terpincut dan rela jauh-jauh menyembuhkan penyakit matematika anak mereka ke Fauzanah.
Dia mengingat, pasiennya pernah datang dari Semarang, Purwokerto, Magelang, Kendal, dan Cilacap. Selain itu, pernah ada pasien yang datang dari Jawa Timur dan Jakarta. Bahkan, pasien dari Jambi dijadwalkan segera datang. ’’Yang dari Jambi ini masih menelepon. Belum datang anaknya,’’ ujar dia.
Menurut Fauzanah, ada anak-anak yang dia rawat tidur di rumahnya. Tetapi, anak-anak dari keluarga mampu tidak jarang yang diinapkan di hotel. Biasanya, anak-anak dari luar daerah minta dirawat di Puskesmas Matematika ketika musim liburan tiba.
Dia memperkirakan, saat ini terdapat lebih dari 30 anak yang menjalani perawatan di puskesmas. Dia tidak bisa memastikan jumlahnya. Sebab, ada yang sekarang hadir, besok absen, dan beberapa hari kemudian hadir lagi.
Saking ramainya pasien dari luar kota, salah seorang tetangga Fauzanah pernah mengusulkan ide bahwa Puskesmas Matematika harus dilengkapi asrama atau kos-kosan. Tetapi, usul tersebut belum diterima perempuan yang menolak membincangkan kehidupan pribadinya itu.
Alasannya, dia sangat sibuk sehingga khawatir tidak bisa melayani anak-anak yang tinggal sementara di asrama. ’’Siapa nanti yang memasak makannya, siapa nanti yang mencucikan bajunya, siapa nanti yang mengawasi waktu tidur,’’ tutur dia.
Terkait urusan ongkos, dia menjelaskan bahwa anak-anak asal SMPN 1 Parakan dibebaskan dari biaya. ’’Saya juga menggunakan istilah ’’jamkesmas (jaminan kesehatan masyarakat)’’. Yaitu, khusus untuk anak dari SMP tempat saya mengajar dan anak-anak dari keluarga tidak mampu,’’ katanya.
Sedangkan untuk pasien dari luar SMPN Parakan, Fauzanah memang memasang tarif. Tetapi, dia menutup rapat-rapat tarif perawatan di Puskesmas Matematika yang dia kelola. Dia hanya mengatakan, tarif ini pokoknya cukup untuk membayar tagihan listrik dan air PDAM. Dia menegaskan, untuk urusan makan sehari-hari sudah cukup dari uang pensiun yang dia terima.
Sementara untuk membiayai 18 anak asuhnya, dia mendapat dana dari saudara-saudara lainnya. Sewaktu-waktu dia menelepon saudaranya di Jakarta untuk ikut membantu biaya pendidikan para anak asuhnya. ’’Saya selalu ngomong, mana 2,5 persen pengasilanmu. Itu kan zakat,’’ ucap Fauzanah.
Dia menuturkan, di antara 18 anak asuhnya tersebut, 12 orang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Mulai jenjang S-1 hingga S-2. Sisanya masih menuntut ilmu di SD, SMP, dan SMA unggulan di daerah masing-masing.
Yang unik, Fauzanah membuat komitmen dengan para anak asuhnya itu: harus kuliah di rumpun matematika. Jadilah, selain di jurusan matematika, ada yang di kimia, fisika, elektronika, dan teknik sipil. ’’Intinya, tidak boleh lepas dari menghitung,’’ tegas dia.
Di tengah usianya yang terus bertambah, Fauzanah berharap bisa terus merawat anak-anak yang sakit matematika. Dia berjanji pada diri sendiri, akan mengajarkan matematika hingga tutup usia. (*/c4/ttg)
M. Hilmi Setiawan, Jakarta
-------------------------
ADA cara mudah bagi Siti Fauzanah untuk membangkitkan motivasi anak-anak yang tengah ’’dirawat’’ di Puskesmas Matematika yang didirikannya di kediaman pribadinya, Kampung Ngempo Lor, Kelurahan Parakan, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Yakni, dengan memberikan contoh pengemis atau tukang sapu jalanan yang kebetulan melintas di depan rumah.
’’Coba kamu tanya, mereka pasti tidak sekolah. Dan, yang paling penting di sekolah adalah bisa matematika. Dengan matematika, hidup kalian akan selamat,’’ tutur Fauzanah kepada anak-anak yang dia rawat.
Tak memerlukan waktu lama, begitu selesai mendengar wejangan tadi, anak-anak itu pun bergegas masuk rumah Fauzanah. ’’Mereka langsung membuka buku matematika kembali dan belajar menghitung,’’ ujar perempuan kelahiran 14 Mei 1947 itu sembari tersenyum ketika ditemui Jawa Pos di Jakarta beberapa hari lalu.
Itulah salah satu metode yang membuat puskesmas yang didirikan pensiunan guru matematika di SMPN 1 Parakan, Temanggung, pada 1974 tersebut diminati para orang tua yang anaknya mengalami kesulitan belajar matematika. ’’Pasien” semakin ramai berdatangan, terutama sejak 1983.
Tentu, secara fisik, jangan membayangkan puskesmas ala perempuan yang rambutnya sudah memutih itu sebagaimana pusat kesehatan masyarakat pada umumnya. Lokasinya hanya di ruang tamu. Kalau pasiennya sedang banyak, mereka juga ditempatkan di teras, bahkan di dapur rumah Fauzanah yang berdinding papan itu.
Para pasien tersebut kebanyakan adalah murid-murid setingkat SMP di daerah Parakan. Termasuk, tentunya, murid-murid Fauzanah di SMPN 1 Parakan. Meskipun sudah resmi pensiun pada 1 Januari 2007, Bu Yan –sapaan akrab Fauzanah– masih diminta untuk mengajar di SMPN 1 Parakan.
Sebagaimana pernah dilansir Radar Semarang (Jawa Pos Group), di ruang tamu rumah Bu Yan disediakan meja panjang untuk tempat belajar para pasien. Sebagaimana juga halnya dengan layanan di puskesmas atau rumah sakit, perempuan sepuh yang masih energetik itu biasanya mengelompokkan para pasiennya itu menjadi dua, yaitu pasien rawat jalan dan pasien rawat inap. Yang disebut pasien rawat jalan adalah mereka yang datang hanya beberapa jam seperti mengikuti pelajaran tambahan (les).
Untuk pasien rawat jalan, mereka disediakan waktu mulai pukul 14.00 hingga pukul 20.00. Rentang waktu itu dibagi tiga sif. Giliran pertama pukul 14.00–16.00, sif kedua pukul 16.00–18.00, dan sif ketiga pukul 18.00–20.00.
Sedangkan mereka yang sakitnya ’’parah’’ alias sulit sekali memahami matematika masuk kategori pasien rawat inap. ’’Mereka menginap sampai benar-benar paham dengan matematika. Mereka rata-rata menginap dua hari. Namun, ada juga yang menginap sampai tujuh hari. Bergantung pula kepada izin yang diberikan orang tuanya,’’ kata Bu Yan kepada Abaz Zahroetin dari Radar Semarang di awal tahun ini.
Tidak seperti di sekolah, lewat puskesmas tersebut, Fauzanah bisa mendeteksi secara lebih intens dan personal ’’penyakit’’ matematika yang dialami tiap-tiap pasien. Di sekolah, sekalipun sudah menerapkan metode ulangan, tetap saja murid-murid bisa mengakali dengan cara menyontek.
Dengan model seperti bimbingan belajar di puskesmasnya, Fauzanah bisa berjam-jam duduk di hadapan seorang pasiennya hanya untuk mengajari penjumlahan, pengurahan, pembagian, dan perkalian.
Perempuan 63 tahun itu menegaskan tak ada dokter di puskemasnya, hanya mantri. Itu pun cuma satu. ’’Mantrinya ya saya ini,’’’ ucap Fauzanah, lantas tertawa.
Itu menunjukkan kedekatan Bu Yan dengan para murid alias pasien. Buntutnya, sudah ratusan pasien yang sembuh dari berbagai penyakit matematika. Dalam pengertian, mereka tak lagi menganggap matematika sebagai pelajaran yang menakutkan.
Bahkan, tak sedikit pasien Puskesmas Matematika yang menorehkan prestasi. Termasuk di berbagai ajang olimpiade matematika. Kebetulan, Fauzanah selalu menanamkan komitmen kepada para pasien yang dia rawat berupa kewajiban ikut olimpiade matematika. Mulai tingkat kabupaten, provinsi, hingga nasional. Bahkan, kalau perlu, ikut olimpiade matematika mancanegara. ’’Menang atau kalah, itu urusan nanti,’’ tandasnya.
Fauzanah menceritakan, Puskesmas Matematika berdiri pada 1974. Pencapaian setinggi itu tak pernah terbayangkan di benak Fauzanah saat baru memulai puskesmas tersebut. Sebab, awalnya puskesmas itu hanya untuk lingkungan keluarga Fauzanah sendiri.
Ketika itu, dia menjadi orang tua asuh lebih dari 20 anak. Nah, kenang Fauzahan, saat itu banyak anak asuhnya yang tidak mudeng (mengerti) urusan berhitung. ’’Padahal, saya sendiri yang mengajar mereka,’’ kata dia.
Di sekolah, dia juga menjumpai hal yang sama. Baginya, adalah sebuah bencana besar ketika ada anak yang belum paham satu materi, kemudian ditambah materi baru keesokan harinya di sekolah.
Dia menyebut anak-anak seperti itu sudah dalam kondisi ’’sakit’’. Dari situlah muncul ide untuk menyembuhkan anak-anak tersebut melalui sebuah puskesmas khusus matematika.
Pada intinya, kata Fauzanah, guru matematika memang harus telaten. Meskipun, itu tidak berarti mereka tak boleh marah. Fauzanah mengakui, dirinya sering memarahi anak-anaknya yang kurang cepat menyerap materi. ’’Tetapi, marahnya tidak boleh keterlaluan dan setelah itu harus membuat siswa tertawa,’’ kata dia.
Dari sekadar lingkungan keluarga, model mengajar Fauzanah yang diterapkan di Puskesmas Matematika tersebut akhirnya mulai terdengar luas. Buntutnya, banyak wali murid dari luar Kabupaten Temanggung yang terpincut dan rela jauh-jauh menyembuhkan penyakit matematika anak mereka ke Fauzanah.
Dia mengingat, pasiennya pernah datang dari Semarang, Purwokerto, Magelang, Kendal, dan Cilacap. Selain itu, pernah ada pasien yang datang dari Jawa Timur dan Jakarta. Bahkan, pasien dari Jambi dijadwalkan segera datang. ’’Yang dari Jambi ini masih menelepon. Belum datang anaknya,’’ ujar dia.
Menurut Fauzanah, ada anak-anak yang dia rawat tidur di rumahnya. Tetapi, anak-anak dari keluarga mampu tidak jarang yang diinapkan di hotel. Biasanya, anak-anak dari luar daerah minta dirawat di Puskesmas Matematika ketika musim liburan tiba.
Dia memperkirakan, saat ini terdapat lebih dari 30 anak yang menjalani perawatan di puskesmas. Dia tidak bisa memastikan jumlahnya. Sebab, ada yang sekarang hadir, besok absen, dan beberapa hari kemudian hadir lagi.
Saking ramainya pasien dari luar kota, salah seorang tetangga Fauzanah pernah mengusulkan ide bahwa Puskesmas Matematika harus dilengkapi asrama atau kos-kosan. Tetapi, usul tersebut belum diterima perempuan yang menolak membincangkan kehidupan pribadinya itu.
Alasannya, dia sangat sibuk sehingga khawatir tidak bisa melayani anak-anak yang tinggal sementara di asrama. ’’Siapa nanti yang memasak makannya, siapa nanti yang mencucikan bajunya, siapa nanti yang mengawasi waktu tidur,’’ tutur dia.
Terkait urusan ongkos, dia menjelaskan bahwa anak-anak asal SMPN 1 Parakan dibebaskan dari biaya. ’’Saya juga menggunakan istilah ’’jamkesmas (jaminan kesehatan masyarakat)’’. Yaitu, khusus untuk anak dari SMP tempat saya mengajar dan anak-anak dari keluarga tidak mampu,’’ katanya.
Sedangkan untuk pasien dari luar SMPN Parakan, Fauzanah memang memasang tarif. Tetapi, dia menutup rapat-rapat tarif perawatan di Puskesmas Matematika yang dia kelola. Dia hanya mengatakan, tarif ini pokoknya cukup untuk membayar tagihan listrik dan air PDAM. Dia menegaskan, untuk urusan makan sehari-hari sudah cukup dari uang pensiun yang dia terima.
Sementara untuk membiayai 18 anak asuhnya, dia mendapat dana dari saudara-saudara lainnya. Sewaktu-waktu dia menelepon saudaranya di Jakarta untuk ikut membantu biaya pendidikan para anak asuhnya. ’’Saya selalu ngomong, mana 2,5 persen pengasilanmu. Itu kan zakat,’’ ucap Fauzanah.
Dia menuturkan, di antara 18 anak asuhnya tersebut, 12 orang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Mulai jenjang S-1 hingga S-2. Sisanya masih menuntut ilmu di SD, SMP, dan SMA unggulan di daerah masing-masing.
Yang unik, Fauzanah membuat komitmen dengan para anak asuhnya itu: harus kuliah di rumpun matematika. Jadilah, selain di jurusan matematika, ada yang di kimia, fisika, elektronika, dan teknik sipil. ’’Intinya, tidak boleh lepas dari menghitung,’’ tegas dia.
Di tengah usianya yang terus bertambah, Fauzanah berharap bisa terus merawat anak-anak yang sakit matematika. Dia berjanji pada diri sendiri, akan mengajarkan matematika hingga tutup usia. (*/c4/ttg)