'Pasukan Khusus' Kades Selok Awar-awar Gedor Pintu Warga yang Ikut Teken
jpnn.com, LUMAJANG - BERKALI-kali Turiman dan Nadi menghela napas panjang. Tatapan mereka nanar, memandang ke arah hamparan sawah. "Kalau seperti ini, paling beberapa minggu lagi padinya mati," ujar Turiman.
------------
Gunawan Sutanto, Lumajang
------------
Sawah yang digarap dua warga Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, itu memang hanya terletak sekitar 300 meter dari bibir Pantai Watu Pecak. Tapi, selama ini padi di sana aman dari serbuan air laut yang dilemparkan gelombang Samudra Hindia.
Sebab, di antara persawahan dan pantai, ada benteng alami berupa bukit-bukit pasir setinggi 3-4 meter. Tapi, penambangan pasir ilegal yang menggila sejak 2012 melenyapkan benteng tersebut.
"Sekarang lihat sendiri, ombak besar terlihat begitu dekat," ujar Nadi yang hanya bisa bertutur dalam bahasa Jawa bercampur Madura.
Padahal, sawah itu menjadi gantungan hidup mereka. Meski terletak di pesisir, mayoritas warga desa yang berjarak sekitar 20 kilometer ke arah selatan dari Kota Lumajang tersebut memang mengandalkan sumber penghasilan dari bertani dan berkebun.
Kerusakan alam karena penambangan pasir itu sebenarnya sudah lama disuarakan warga. Lewat beragam cara, kepada berbagai pihak. Bukan hanya oleh penduduk Desa Selok Awar-Awar, namun juga warga beberapa desa lain di Kecamatan Pasirian dan Tempeh yang sama-sama berada di pesisir selatan Lumajang.
Namun, perjuangan mereka selama ini terhalang berbagai tembok. Mulai minimnya pengetahuan hingga tidak adanya respons dari instansi di tingkat desa sampai kabupaten.
Belum lagi yang paling mengerikan: teror dari kelompok pendukung penambangan. Teror itulah yang akhirnya merenggut nyawa Salim Kancil karena dianiaya secara biadab pada Sabtu (26/9).
Tokoh antitambang lainnya, Tosan, yang juga dianiaya lolos dari maut. Tapi, pria 52 tahun itu mengalami luka parah dan kini harus menjalani perawatan intensif di RSU dr Saiful Anwar Malang.