Pecat Hakim MK, DPR Sedang Memperagakan Kekuasaan yang Melanggar UU
Padahal Aswanto merupakan hakim MK dari perwakilan DPR.
"Argumen ini bukan hanya keliru tetapi mempunyai daya rusak bagi institusi MK. DPR menganggap tiga orang hakim MK jalur DPR adalah wakilnya, yang harus berkomitmen mengamankan produk kerja DPR, yakni tidak membatalkan UU yang dibentuk oleh DPR dan presiden," kata Ismail.
Pengajar hukum tata negara Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menegaskan desain pengisian jabatan hakim MK dari tiga cabang kekuasaan, yakni DPR, presiden, dan MA.
Namun, posisi itu bukanlah ditujukan untuk mewakili kepentingan institusi-institusi tersebut.
Pengisian jabatan dari tiga cabang kekuasaan itu justru untuk memastikan independensi, integritas, dan kontrol berlapis eksistensi MK. Hal ini mengingat posisi MK sebagai peradilan konstitusi yang menjaga prinsip supremasi konstitusi.
"Pencopotan Aswanto jelas menggambarkan penggunaan nalar kekuasaan yang membabi buta. Peragaan nalar sebagaimana diadopsi DPR akan membonsai kelembagaan dan hakim-hakim MK, khususnya yang berasal dari jalur DPR dan presiden, karena posisi DPR dan presiden sebagai pembentuk UU," tegasnya.
Selain itu, kata Ismail, argumen DPR yang menyebut tindakannya mencopot Aswanto sebagai keputusan politik juga menyesatkan.
Dia menganggap sebagai institusi politik, DPR tetap terikat dan harus patuh pada UU MK. DPR juga terikat seluruh prosedur yang telah ditetapkan dan menjadi kesepakatan politik yang dituangkan dalam bentuk UU.