Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Pembuktian Diri Mahasiswi Indonesia Kuliah di Belanda

Sabtu, 06 Desember 2014 – 12:34 WIB
Pembuktian Diri Mahasiswi Indonesia Kuliah di Belanda - JPNN.COM
Christina Kurniawan. Foto Angger Bondan/Jawa Pos/JPNN.com

Aktivitas Tina tidak hanya belajar. Setelah kuliah, dia bekerja paro waktu di salah satu restoran Indonesia di Belanda. Dia pulang hingga pukul 12 malam. Tina mengaku sering harus menahan rasa dingin ketika pulang dengan naik sepeda. ”Di sana cuacanya dingin sekali. Kalau di Indonesia masih bisa naik motor atau mobil, di sana saya harus pakai sepeda,” kenangnya.

Ketika berada di negara asing, Tina juga sering merindukan makanan Indonesia. Terlebih makanan favoritnya, pecel. Di Belanda, harga pecel 15 euro atau sekitar Rp 200 ribu. Sebelum membelinya, Tina harus berpikir dua kali. Untungnya, dia bisa menikmati makanan itu di tempat part time-nya.

Kesibukan Tina lebih padat ketika mulai magang dan meneliti di Nutricia Belanda. Riset tersebut dimulai Februari hingga Juni. Namun, hingga April, Tina belum juga mendapatkan data yang sesuai dengan keinginannya.

Apalagi Tina merupakan satu-satunya mahasiswa yang magang dari jenjang S-1. ”Yang lainnya sudah S-2 dan S-3. Saya merasa bodoh dan sempat minder. Stres berat karena takut enggak bisa menyelesaikan skripsi di Belanda,” kenangnya.

Dia juga merasa teknologi di Belanda cukup canggih. Sementara itu, yang dia pelajari di Indonesia masih sangat kurang. Untuk mengejarnya, Tina harus ekstra berjuang. Biasanya, para peserta magang datang pukul 09.00. Namun, Tina datang lebih awal pada pukul 08.00. Begitu pula saat pulang. Dia baru pulang pukul 18.00, padahal yang lainnya sudah bisa kembali pukul 16.00. Tina sengaja pulang lebih lambat untuk belajar. Selain itu, dia sering bertanya kepada mahasiswa lain yang sudah ahli.

Pada suatu hari, Tina mendapatkan ide untuk membuat komponen yang melindungi susu agar tidak rusak. Pasalnya, susu bubuk untuk bayi biasanya menggunakan air panas. Hal itu dikhawatirkan membuat nutrisi di dalam susu rusak, khususnya protein. ”Kalau protein rusak, bayi sama saja kayak minum air. Padahal, yang diharapkan itu nutrisinya,” ujar alumnus SMAK St Louis 1 Surabaya tersebut.

Dia juga menjelaskan, analisis protein belum banyak dikembangkan. Selain itu, banyak peneliti dunia yang bingung dengan analisis protein. Maka, Tina ingin membuat komponen yang dapat melindungi protein dalam susu bubuk bayi agar tidak rusak meski terkena air panas.

Kebetulan Tina pernah belajar soal protein saat kuliah di Indonesia. Dia pun aktif dalam proyek-proyek soal protein.

Tidak ada salahnya bermimpi setinggi-tingginya. Sayangnya, mimpi besar seseorang tidak jarang menjadi bahan caci maki. Namun, hal itu tidak menyurutkan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

X Close