Pemda tak Serius Cegah Korupsi, Ini Datanya yang Bikin Tjahjo Kecewa
jpnn.com - JAKARTA - Upaya pemda untuk mencegah dan memberantas korupsi belum serius. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pun kecewa.
Bukan tanpa dasar, Tjahjo mengungkapkan kekecewaannya mengacu hasil evaluasi Kemendagri terhadap Aksi Daerah dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (AD-PPK) sepanjang 2014 lalu.
"Hasilnya sangat mengecewakan," ujarnya dalam dokumen laporan bahan penyusunan Rencana Kerja Pemerintah 2016 yang diperoleh Jawa Pos kemarin (2/5).
Data Kemendagri menunjukkan, untuk tingkat pemerintah provinsi, hanya 41,18 persen yang dinilai memuaskan karena menunjukkan komitmen pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Sedangkan 58,82 persen dinilai mengecewakan. Nah, untuk tingkat kabupaten/kota, hasilnya benar-benar membuat miris. Sebab, hanya 9,25 persen yang masuk kategori memuaskan. 90,75 persen sisanya mengecewakan.
Menurut politikus senior PDI Perjuangan itu, komitmen daerah dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi dinilai mengecewakan jika Pemda tidak memiliki inisiatif untuk mencegah terjadinya penyimpangan di beberapa area rawan korupsi.
Ada lima hal yang disorot. Pertama, dalam proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kedua, di bidang perizinan. Ketiga, pelaksanaan pungutan pajak dan retribusi daerah. Keempat, pengadaan barang dan jasa dari alokasi belanja APBD. Kelima, belanja hibah dan bantuan sosial.
Karena itu, Kemendagri mendorong seluruh daerah untuk segera menetapkan aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi dalam program prioritas 2016. Ini terkait dengan bakal dimulainya proses penyusunan APBD 2016 antara pemerintah daerah dengan DPRD pertengahan tahun ini.
Tjahjo menyebut, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan kepala daerah untuk membangun komitmen antikorupsi di segala lini. Misalnya, dengan memantapkan reformasi birokrasi pada area pelayanan publik untuk mencegah terjadinya pungutan liar atau potensi korupsi di bidang perizinan dan pajak/retribusi.
Selain itu, penetapan zona integritas, pembentukan unit pengendalian gratifikasi dan whistle blower system (sistem pelaporan tindak pidana dalam organisasi).
Perbaikan sistmen pencegahan dan pemberantasan korupsi di daerah memang mendesak dilakukan. Sebab, jumlah pejabat daerah yang tersangkut perkara korupsi menunjukkan tren naik.
Koordinator Divisi Investigasi dan Publikasi Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S. Langkun menyebut, sepanjang 2014 lalu, ada 47 kepala daerah yang menjadi tersangka akibat kasus korupsi. "Naik dibanding 2013 yang sebanyak 35 kepala daerah," katanya.
Penyusunan dan pelaksanaan APBD sepertinya memang menjadi area kritis rawan korupsi. Karena itu, selain kepala daerah, banyak juga anggota DPRD yang terjerat kasus korupsi. Data menunjukkan, 2014 lalu ada 81 anggota DPRD yang jadi tersangka kasus korupsi, naik dibanding 2013 yang sebanyak 60 orang. "Jadi tren korupsi di eksekutif dan legislatif sama-sama naik," ucapnya.
Tama menyebut, ada tiga faktor yang membuat kasus korupsi yang melibatkan pejabat di daerah kian masif. Pertama, mahalnya biaya politik saat pemilihan kepala daerah. Kedua, hukuman yang dijatuhkan pada koruptor kurang berat sehingga tidak membuat jera. Ketiga, karena kian gencarnya pemberantasan korupsi oleh aparat penegak hukum.
"Langkah konkret perbaikan bisa dimulai dengan transparansi saat penyusunan mapun pelaksanaan APBD," ujarnya. (owi/sof)