Pemerintah Ajak Petani Garap Hilirisasi Kakao
Untuk mendorong produktivitas kakao rakyat, pemerintah sudah mengembangkan kakao berkelanjutan yang pada tahun 2019 telah mencapai lebih dari 477 ribu ha. Diantara pengembangan kakao ini melalui kegiatan utama perluasan, peremajaan, rehabilitasi dan intensifikasi.
Pada tahun 2019 ini, telah dialokasikan kegiatan pengembangan kakao seluas 7.730 ha melalui kegiatan peremajaan dan perluasan yang didukung operasional substation dan pilot project fertigasi kakao. Selain itu juga telah diluncurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) khusus perkebunan yang bisa dimanfaatkan pekebun.
Kasdi menyebutkan, ada beberapa faktor pendukung potensi kakao di tanah air bisa ditingkatkan produksi dan kualitasnya. Sebab, Indonesia memilki areal lahan yang cukup luas sesuai untuk kakao. Faktor lainnya adalah, minat pekebun cukup tinggi dan tersedianya bahan tanam unggul. “Dalam pengembangan kakao juga ada dukungan berupa paket teknologi dari pemerintah, tersedianya SDM peneliti yang berkualitas," ujarnya.
Menurut Kasdi, pengembangan kakao rakyat juga ada dukungan pemerintah pusat dan daerah yang tinggi serta potensi pasar yang besar. Data Ditjenbun Kementan menyebutkan, produksi kakao dunia saat ini sekitar 4,79 juta ton. Dari jumlah tersebut, sebagian besar dipasok oleh Pantai Gading (43 persen), Ghana (20 persen), Ekuador (6 persen), Indonesia (6 persen) dan sisanya oleh negara-negara produsen lainnya. “Jadi, kita saat ini posisinya ke empat,” ujarnya.
Data statistik perkebunan tahun 2018 (angka sementara) menyebutkan, areal kakao nasional mencapai 1.678.000 ha dengan produksi mencapai 593,83 ton/tahun. Sedangkan produktivitas kakao nasional rata-rata sebesar 737 kg/ha. Selain penghasil devisa negara, lanjut Kasdi, kakao juga menjadi komoditas sosial.
Artinya, usaha perkebunan kakao tersebut hampir 97% diusahakan oleh perkebunan rakyat yang melibatkan sekitar 1,7 juta kepala keluarga (KK). Disisi lain komoditas kakao memberikan sumbangan dalam perolehan devisa sebesar 1,24 miliar dollar AS. (jpnn)