Pemerintah Diminta Lengkapi Konten Aturan Penyadapan
jpnn.com, JAKARTA - Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang (Pansus RUU) Terorisme DPR meminta pemerintah agar konten aturan penyadapan dalam RUU itu dilengkapi.
Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) No. 72 Pasal 31 tentang Penyadapan yang telah disepakati DPR dan pemerintah itu diminta dilengkapi, agar aturan terkait penyadapan terduga teroris tidak menyalahi aturan yang berlaku.
“Itu penyadapan kami sepakati, tapi kontennya kami serahkan penyempurnaannya kepada pemerintah,” kata Ketua Pansus RUU Terorisme Muhammad Syafi’i, usai rapat internal Pansus RUU Terorisme, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta.
Syafi’i menjelaskan, pasal tentang penyadapan pada RUU Terorisme, tidak ada lembaga yang mengizinkannya, lama waktu penyadapan dan pertanggungjawabannya, serta persyaratan penyadapannya.
Padahal dalam UU yang sudah existing, izin penyadapan jelas dari Pengadilan Negeri, dengan adanya batas waktu penyadapan hingga satu tahun, dan melaporkan hasil penyadapan kepada penyidik dan Menkominfo.
Politikus F-Gerindra itu menambahkan, merujuk pada UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), adanya aturan penyadapan selain harus diatur dalam peraturan perundang-undangan, tidak boleh di bawah level UU mengaturnya.
Hal ini pun sesuai dengan Putusan MK N0. 5 Tahun 2010.
Ada hal-hal yang harus dipenuhi, misalnya spesifikasi alat perekam, tujuan merekam, identitas yang merekam, dan kapan pelaksanaannya.
Kemudian rekaman tidak boleh ditunjukkan kepada siapa pun.
Termasuk tidak boleh dibocorkan dengan alasan apa pun, disewakan dan diperjualbelikan
“Akhirnya karena merujuk pada putusan MK, apa yang dimuat oleh RUU itu belum memadai. Pemerintah sepakat merekonstruksi ulang pasal itu, yang kemudian akan dibawa pada saat konsinyering,” imbuh Anggota Komisi III DPR itu.
Kemudian, lanjut Syafi’i, pada DIM No. 80 Pasal 33 terkait perlindungan terhadap saksi, pelapor, ahli, hakim, advokat, penyidik, termasuk petugas lapas, pihaknya tidak sepakat jika hal itu diatur sebanyak-banyaknya dalam Peraturan Pemerintah.
Menurutnya, kalau bisa sebanyak-banyaknya di atur dalam RUU.
“Karena banyak pengalaman jika menunggu PP, memperjuangkannnya UU-nya sudah berdarah-darah, kemudian tidak dilaksanakan, karena belum ada PP. Kita sepakati, semua yang sudah dilindungi UU lain, misalnya saksi, pelapor, ahli, sudah dilindungi UU N. 31 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, untuk tidak diatur lagi,” papar Syafi’i.
Politikus asal dapil Sumatera Utara itu memastikan, saat ini tersisa 32 DIM lagi untuk dibahas lagi. Namun, hal itu hanya terangkum dalam empat pasal. Ia optimis, RUU ini akan segera selesai. (adv/jpnn)