Pemerintah Diyakini Mampu Mendorong Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati
Sedangkan tantangan kedua, menurut Satya, adalah tidak adanya mekanisme insentif untuk menutupi perbedaan antara harga bioetanol dan bensin.
Ketiga, belum ada kebijakan yang mengintegrasikan sektor hulu hingga hilir, yang menyebabkan bahan baku sulit diperoleh dengan harga wajar.
"Juga, luas lahan berkurang dengan tingkat produktivitas yang stagnan," imbuhnya.
Keempat, perlu adanya peraturan lintas kementerian dan lembaga yang mengatur peran dan kewajiban pemangku kepentingan dalam pelaksanaan mandatori bioetanol.
Apalagi, Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) Indonesia memasang target produksi bioetanol sebesar 13,7 juta kiloliter mulai tahun depan, sehingga menurut Satya, semua hambatannya harus segera diselesaikan.
“Yang penting harus mengurai hambatan-hambatannya. Tetapi Saya yakin, dengan terobosan baru dari pemerintahan baru hambatan itu akan bisa dituntaskan,” ujar Satya.
Menurut Satya, setelah mengurai dan menemukan solusi dari hambatan-hambatan tersebut, barulah membahas kemampuan produksi bioethanol. Satya menghitung, saat ini produksi maksimal bioetanol nasional baru sekitar 63.000 kiloliter.
“Bila dihitung, rata-rata produksi bioetanol sekitar 40.000 kiloliter per tahun. Keterbatasan produksi memang jadi tantangan saat ini karena masih mengandalkan bahan baku berupa molase. Maka, diversifikasi bahan baku seperti batang kelapa sawit tua, sorgum manis atau mikroalga perlu digalakkan agar tidak kekurangan bahan baku jika bioethanol sudah diproduksi massal,” kata Satya.